Hari
ini senin tengah malam, empat agustus dua ribu empat belas. Hampir masuk ke
selasa, lima agustus dua ribu empat belas. Dapat dipastikan kalau ini adalah
malam terakhir tidur diatas spring bed nyaman, dibawah selimut hangat, dan tenang
tanpa gangguan mulut-mulut gila senior pengurus asrama. Ya, esok hari pagi-pagi
sekali aku harus sudah berangkat kembali ke Gontor. Tapi hari ini semuanya
terasa baik-baik saja, bahkan aku tidak sabar untuk bisa kembali hidup didalam
dinamika pesantren yang tidak pernah tidur itu. Aku rindu pondokku.
Malam ini
jelas berbeda dengan malam terakhir yang sebelum-sebelumnya. Karena biasanya
disaat seperti ini aku nggak bisa menawar perih dihatiku sendiri. Biasanya berat
harus meninggalkan kenikmatan-kenikmatan duniawi yang tersedia lengkap bahkan
kadang berlebih dirumah super mewah ini. Kali ini aku justru ingin cepat-cepat
segera ‘minggat’. Mungkin saat ini aku barusan sadar dengan artian yang
sebenarnya tanpa pakasaan dan intervensi dari pihak manapun kalau pergi ke
Gontor itu untuk menempa diri. Bukan diasingkan, bukan dibuang, apalagi
dikorbankan. Tapi ini adalah suatu kehormatan yang tidak diberikan oleh Sang
Maha Kuasa kepada semua hambanya. Mungkinkah ini hidayah kepada orang-orang
terpilih? Semoga saja.
Pergi
ke rantau itu tentu butuh keberanian luar biasa. Kalau pelaku dan keluarga yang
ditinggalkan di kampung halaman tidak memiliki mental nekat mungkin saja tidak
ada cerita-cerita perantau hebat. Juga pastinya butuh tekad, kalau tidak ada
yang namanya tekad itu mungkin tidak ada yang bisa bertahan bertahun lamanya
tinggal di tanah orang, apalagi untuk mencari ilmu dengan sistem seketat Gontor,
semuanya serba dibatasi dan diberi aturan. Masih mending lah kalau pergi ke tanah
orang Cuma buat senang-senang, siapa juga yang nggak hepi. Tapi ini untuk
belajar.
Perantau
memang mereka yang diberi kelebihan oleh tuhannya. Bahkan mungkin kembali ke
tanah rantau dengan hati yang lapang dan ikhlas untuk tugas mulia yang luar
biasa berat, menantang, dan penuh godaan itu adalah kelebihan lagi yang
diberikan kepada orang-orang terpilih diantara penerima keberanian dari Tuhan
untuk pergi jauh tinggal di tanah antah berantah for duing samting.
Apalagi
kalo lo tau gimana rasanya pulang ke kampung halaman dengan tulisan “SANTRI”
yang menempel dikepala lo, dan semua orang bisa melihat itu. Banyak orang yang
salah mengartikannya, banyak orang yang melebih-lebihkannya dengan menamai kami
pak ustadz. Padahal sebenarnya kami sama saja dengan kalian, anak muda belasan
tahun yang punya rasa ingin tahu tingkat tinggi, kadang juga ada yang keselipan
sama idealisme. Cuma bedanya kami belajar agama, sesuatu yang mungkin agak gatel
diterima telinga kalian, sesuatu yang mungkin Cuma kalian pake buat
gaya-gayaan, atau bahkan itu adalah suatu hal yang kalian buang dan sepelekan. Yang
jelas itu adalah sesuatu yang tidak semua dari kalian mempelajarinya.
Jadi nggak
perlu takut atau resah kalau tiba-tiba ada orang sepertiku, masuk ke pergaulan
kalian, membaur, bermain bersama, itu adalah kebutuhan kami memenuhi kodrat
manusia sebagai makhluk sosial. Kalian nggak perlu cemas tiba-tiba kami
meledakkan tempat kalian berekspresi, tenanglah, kami hanya manusia biasa,
bukan perenggut kebahagiaan kalian. Kami bukan pengecut, kok.
Liburan
ini berasa puas sekali, walaupun terasa cepat sekali juga. Tapi yang kerasa
cepet itu bukan hanya liburan kok, masa sekolah juga terasa cepat sekali. Nyatanya
hari ini aku udah SMA aja, padahal rasanya baru kemaren loh masih maen betengan
di SD, godain temen cewek, upacara, nyanyi koor, hal-hal yang nggak mungkin
bisa aku lakukan di Gontor . yang membuat liburan ini berasa puas dan tidak
sia-sia tentuna bukan hanya diriku seorang. Aku bersyukur sekali karena
teman-temanku dirumah masih tetap menerimaku sebagai kawan, bahkan dengan penuh
penghormatan.
Banyak sekali
hal-hal yang aku dapatkan di liburan kali ini, yang pastinya meyakinkanku untuk
terus mengembangkan diri. Liburan ini adalah satu-satunya kesempatanku melihat
dunia luar, menyermati apa yang dunia perlukan. Dan dunia perlu perubahan. Itulah
salah satu hal yang memotivasiku untuk semangat kembali menerima kehormatan pulang
ke Gontor guna menempa diri. sebelum bergerak merubah dunia, tentunya aku harus
belajar merubah diriku sendiri terlebih dahulu menjadi lebih baik. Sebelum aku
maju memimpin bangsa dan rakyat negri tercintaku ini, tentunya aku harus lebih bisa
memimpin diriku sendiri .
Tapi banyak
juga hal-hal yang belum sempet aku lakuin. Ternyata bener, alwaqtu kasyaifi,
in lam taqto’hu, qotoaka. Waktu itu seperti pedang, kalau kita tidak
memotongnya, waktu yang akan memotong kita. Rencana ikut ngajar TPA di masjid
deket rumah belum kesampean, mau bikin sampul aja tadi pagi baru selesai, bikin
lagu juga nggak selesai. Jadi agak gondok. Tapi setidaknya aku tau apa yang
harus aku lakukan untuk berkembang dan memperbaiki diri lagi.
Pokoknya
terima kasih deh buat temen-temen yang udah rela meluangkan waktu kalian untuk
ikut berpartisipasi mewarnai 50 hari ini jadi bermakna. Teman nyata ataupun
teman virtual. Semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan berlipat-lipat
ganda, dengan kebahagiaan yang lebih dari kebahagiaan yang telah kalian
tularkan kepadaku.
Dan Arim,
semoga gunung es didalam hatimu itu cepat meleleh.
Halo Ulil
ReplyDeleteSalam kenal ya
Td iseng cari cafe di Boyolali dan nemu blogmu..
Sy dl Jg anak pondok tp cm waktu smp n baca2 tulisannya Ulil ada kenangan yg tergugah..Mirip2 dikit :D
Sukses ya sekolahnya.. sekarang klas XI?