Skip to main content

Posts

Makassar, Amar, dan Call of Duty Mobile

Apa yang kita bawa pulang saat kembali dari sebuah perjalanan? Pandangan yang baru. Perspektif terhadap semesta yang lebih luas dari sebelumnya. Yakni tentang pengetahuan atas bagian dari dunia yang tidak bisa kita lihat dari tempat kita biasanya berada. Maka aku sering mengatakan pada diri sendiri bahwa, perjalanan itu sebenarnya bukan hanya tentang seberapa jauh kita akhirnya bisa menapak, tapi juga mengenai seberapa mampu kita menyelami kedalaman makna dari setiap langkah yang berlalu. From the helipad at the rooftop of AAS Building Mungkin, ada manusia yang telah berkembara hingga ribuan kilometer, menyebrangi samudra, menembus garis lintang, dan melewati batas-batas zona waktu, tetapi tidak lebih bijaksana dari orang yang selama hidupnya tidak pernah bepergian kemanapun. Lalu bisa jadi, ada manusia lain yang akumulasi jarak kelananya tidak seberapa, namun dapat menjadi sedemikian bijaksana karena perjalanannya tidak jauh, namun dalam. Dari hal-hal sederhana di s
Recent posts

How I Summarize 2019 as A Reflection Toward The New Decade

Gimana rasanya ketika kamu punya sebuah kesalahan, yang sengaja ataupun tidak telah menjadi bagian dari hari-harimu, kemudian ada 13 orang duduk melingkar menghakimimu, memaparkan semua kesalahan itu, mempertanyakan mengapa kamu melakukan itu? Sementara kamu terdiam terintimidasi oleh tatap sinis mereka, tidak mampu mengelak karena kesalahan tersebut memang benar, kamu tidak dapat membela diri karena itu adalah bagian dari dirimu. Gimana? Sakit hati, teriris. Semakin nggak paham gimana kelak rasanya dihisab pada hari kiamat. Ketika tangan, kaki, mata, beserta jajaran anggota tubuh lainnya mengadu pada Tuhan, tentang untuk apa mereka kita salahgunakan selama hidup. Kita tidak dapat mengelak karena mereka adalah bagian dari kita. Wait, jika anggota tubuh kita justru menjadi saksi atas perbuatan buruk yang telah kita lakukan selama hidup, untuk kemudian karena kesaksian tersebut kita mendapatkan azab sebagai balasan, maka siapa kita sebenarnya? Bukankah i

Yourself First, Then The Community Will

Bulan Ramadhan yang selalu dapat kita nikmati positive vibes-nya itu adalah sebuah momentum yang sama bagi setiap orang. Namun setiap kepala dari kita selalu memiliki cara untuk menginterpretasi, memaknai, serta menjalani yang berbeda-beda. Setiap ‘Ups’ dan ‘Down’ yang kita alami pada Ramadhan ini patut untuk kita syukuri dan hargai, selama kita yakin bahwa itu semua adalah proses menuju sosok diri kita sendiri yang labih baik. Di Ramadhan ini, ada orang-orang yang sudah mampu berpuasa penuh hingga bulan berganti. Ibadahnya lengkap dengan selalu rajin menghadiri jamaah shalat tarawih di masjid, dan menyempurnakannya dengan beri’tikaf pada tiap malam ganjil di 10 hari terakhir Ramadhan. Sementara itu, pada dimensi hidup yang lain, yang barangkali justru tidak jauh dari kita secara jarak, ada orang-orang yang untuk menuntaskan puasa selama satu bulan saja masih belum mampu. Bukan fisiknya yang tidak mampu untuk minimal menahal lapar dan dahaga, tetapi imannya yang tidak siap untuk

Ada Sesal yang Begitu Mendalam

Sering kali, kita merasa berada pada posisi yang begitu sulit, begitu berat, hingga membuat kita lupa, bahwa di dekat-dekat kita saja, masih ada yang hidupnya lebih sulit. Sementara itu, beban tanggung jawab yang mereka pikul lebih berat dari apa yang ada di pundak kita.                Petang selepas maghrib itu saya terpaksa menggeber motor ke sebuah mini market yang tidak jauh dari asrama. Mini market tersebut memang menjadi langganan untuk mengambil uang dari mesin ATM, selain ATM gallery di depan kampus, tentunya. saat   itu adalah kali kedua saya mengambil uang di ATM pada hari yang sama, dengan berat hati, melihat bahwa bulan Januari belum berlalu sepertiganya, tapi saldo saya sudah terkuras hampir setengahnya.                Awal bulan memang begitu, kebutuhan primer yang sudah direm sejak akhir bulan sebelumnya tiba-tiba hadir seperti banjir bandang yang tak kuasa ditahan. Sementara itu, penghasilan pribadi belum sampai pada taraf dapat mencukupi segala kebutuhan lain

Keberanian Gontor Bermimpi

Bermimpi bukanlah suatu ritual maha sakral yang hanya perlu dilakukan oleh individu. Kelompok kerja, organisasi, bahkan sesederhana lingkaran pertemanan pun perlu berani bermimpi. Tanpa mimpi-mimpi itu, hidup berjalan tanpa tujuan. Dan sebagaimana manusia sering katakan, hidup tanpa harap dan tujuan yang tidak melahirkan resiko-resiko adalah suatu hidup yang tidak dihidupi, alias an unlived life. Sebagai suatu institusi yang telah tumbuh dan berkembang, serta masih terus dapat mempertahankan eksistensinya dalam dunia pendidikan di Indonesia bahkan dunia, Gontor adalah suatu teladan yang mengajarkan keberanian memiliki dan merealisasikan mimpi.   Keberanian untuk bermimpi itu diwariskan secara turun-temurun lintas generasi. Dari Kyai kepada para guru, dari guru-guru kepada para santri, begitu seterusnya. Dan pada akhirnya, keberanian bermimpi serta merealisasikannya itu menjadi suatu watak dan ciri khas yang dimiliki oleh para orang yang pernah hidup dalam ritme dinamika Gon

Dekatnya Iman dan Impian

Sebagai Sang Kausa Prima, yakni sebab dari segala sesuatu namun Ia sendiri tidak disebabkan oleh suatu hal yang lain, Allah ta’ala selalu menghargai proses yang dijalani oleh hambanya. Sebagai satu contoh, Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Ia kehendaki, sebagaimana Ia menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya pula, namun kehendak Allah tersebut tentu tidak pernah lepas dari perilaku para hamba itu sendiri. Kalau boleh menganalogikan, bagi saya istilah ‘kehendak’ tersebut adalah semacam restu, dan jalan dari Allah yang diberikan kepada manusia atas apa yang mereka minta. Ketika kita menjalani suatu rangkaian proses yang membawa kita pada keimanan dan ketaqwaan, maka Allah akan memberikan kehendak-Nya dengan menunjukkan jalan mana lagi yang harus di tempuh, serta ke arah mana kita harus melangkah kemudian, hingga kita terus maju menuju ridho Allah Swt. Kehendak itu juga bisa jadi berupa anugerah rasa nikmat dalam hati kita ketika menjalani prosesnya, sehingga seberapa beratpun

Dibalik Objektivitas Nilai Ujian di Gontor

Ketika lembaga pendidikan lain di Indonesia yang mengikuti perkembangan teknologi informasi mulai menerapkan Computer Based Test (CBT) dalam pelaksanaan Ujian Nasional, dalam Imtihan Nihaiy , Gontor tetap teguh pendirian dengan sistem ujian yang tidak menyediakan pilihan ganda sama sekali. Sebenarnya sistem ujian seperti itu bukan hanya dilaksanakan pada Imtihan Nihaiy alias ujian akhir untuk para santri kelas 6, sejak kelas satu, semua jenis ujian tulis yang ada di Gontor tidak pernah menyediakan pilihan ganda. Ujian tulis di Gontor sepenuhnya dilaksanakan dengan pertanyaan esai yang menuntut seorang santri untuk mengungkapkan hasil belajar yang tersimpan di dalam kepalanya ke dalam bentuk tulisan di atas kertas lembar jawaban. Pelaksanaan ujian semacam itu menuntut seorang santri untuk menguasai materi pelajaran seutuhnya. Sebab kelengkapan jawaban, kesesuaian huruf bahkan harokat aksara arab sekalipun bisa jadi mempengaruhi nilai. Begitu juga pada ujian materi pelajaran matem