Apa yang kita bawa pulang saat kembali dari sebuah
perjalanan?
Pandangan yang baru. Perspektif terhadap semesta yang lebih
luas dari sebelumnya.
Yakni tentang pengetahuan atas bagian dari dunia yang tidak
bisa kita lihat dari tempat kita biasanya berada. Maka aku sering mengatakan
pada diri sendiri bahwa, perjalanan itu sebenarnya bukan hanya tentang seberapa
jauh kita akhirnya bisa menapak, tapi juga mengenai seberapa mampu kita
menyelami kedalaman makna dari setiap langkah yang berlalu.
Mungkin, ada manusia yang telah berkembara hingga ribuan
kilometer, menyebrangi samudra, menembus garis lintang, dan melewati
batas-batas zona waktu, tetapi tidak lebih bijaksana dari orang yang selama
hidupnya tidak pernah bepergian kemanapun. Lalu bisa jadi, ada manusia lain
yang akumulasi jarak kelananya tidak seberapa, namun dapat menjadi sedemikian
bijaksana karena perjalanannya tidak jauh, namun dalam. Dari hal-hal sederhana
di sekitarnya, ia dapat menggali kebijaksanaan.
Kurang lebih, begitulah cara Andrea Hirata memakai teori
relativitas Einstein pada kualitas manfaat yang dapat seorang manusia buat
selama hidupnya. Ada orang yang hidup berpuluh-puluh tahun, ketika mati tidak
menyisakan apapun kecuali batu nisan di tengah kuburan. Namun ada orang lain
yang hidupnya tidak seberapa panjang, tetapi nama dan karyanya membekas di
benak manusia yang hidup setelahnya, jauh lebih panjang dari umurnya sendiri.
Dari situ, aku belajar untuk selalu menghargai setiap orang
yang garis hidupnya berpotongan dengan milikku. Juga untuk mensyukuri setiap
momen yang membentuk kronologi takdir hidup.
Banyak sekali tahu yang baru, yang kubawa pulang dari
pergi singkat ke Makassar untuk memenuhi undangan seorang sahabat, Amar. Sebab,
tampaknya kami bukan hanya hidup di letak geografis yang berbeda, tetapi juga
pada dimensi yang berlainan. Hal itulah yang sering kukagumi dari cara kerja
semesta ini. Bahwa pada permukaan bumi yang sama, ada banyak dimensi yang hidup
bersama secara pararel.
Feeding ikan mas |
Namun yang lebih mengagumkan lagi sebenarnya adalah,
kemampuan semesta untuk mengizinkanku mengintip dimensi lain, melalui jembatan
yang dalam hal ini, bentuknya adalah jiwa kesederhanaan yang ditanam pada
seorang manusia bernama Amar itu, yang mengizinkanku untuk melihat dunia
melalui perspektif dimensinya. Aku tahu banyak orang yang ragu dengan cerita
dan pengalaman yang kerap Amar sampaikan, itu hanyalah karena yang mereka
dengar tidak sama dengan apa yang dunia pertontonkan pada mata mereka.
***
Di antara sekian banyak hal dan tahu baru yang kubawa
pulang, satu yang cukup mengesankan justru adalah Call of Duty Mobile!
We play in a game |
Bagaimana seorang Amar yang pagi dan sorenya berkebun
menanam bawang, memberi makan ikan mas, dan di siang hari menyempatkan kuliah
Manajemen di Unhas pada sela-sela kesibukannya memegang kendali perusahaan di
AAS Building yang terletak di Jalan Poros Makassar-Maros, lalu memproduksi
konten Youtube di malam hari itu masih sempat bermain game mobile.
I amazed, sampai aku merasakan sendiri sensasinya dan mulai
keracunan.
Ceritanya, di hari senin itu Ia mengajakku masuk kelas di hari pertama kuliah usai libur
semester. Sambil menunggu jam makan siang, di kelas yang dosennya tidak hadir
itu ia memaksaku mengunduh game laknat tersebut, dan kami mulai bermain, dan
aku resmi keracunan.
Ternyata bermain game mobile semenyenangkan itu.
Pertama, unsur gamifikasi dan nuansa kompetisi dalam
pertandingan mungkin dapat memicu adrenalin kita untuk bersemangat melakukan
sesuatu.
Kedua, yang sangat penting bagiku adalah, game ini dapat
menjadi tempat pemainnya membuang ego. Dan, bukankah kita sangat memerlukan itu
untuk tetap waras? Tempat sampah ego dan penat kita mungkin berbeda, dan keren sekali saat kita bisa saling menghargai
tanpa saling memandang rendah yang lain.
Producing Video for his Youtube Channel |
Setelah beberapa hari, permainan ini menjadi semacam short
escape yang cukup sehat buatku saat sedang melakukan sesuatu, untuk bisa
melangkah lebih jauh lagi.
Aku mengukur produktivitas dengan siklus podomoro, yakni
membagi waktu bekerja atau belajar ke dalam sejumlah satuan waktu dengan
menyertakan waktu yang lebih pendek untuk rehat sejenak. Satu podomoroku adalah
25 menit fokus dan 5 menit rehat. Biasanya, aku memanfaatkan 5 menit tersebut
untuk mengecek notifikasi di ponsel, dan mengintip stories teman-teman di Instagram.
Kacaunya, melihat stories sebagai rehat itu sangat rentan
kebablasan dan membuat cepat jenuh. Asumsiku, melihat instastories sendiri
adalah suatu kegiatan yang menjemukan. Bahkan dalam kondisi yang lebih buruk,
melihat apa yang orang pertontonkan kepada dunia bisa memicu iri, dan itu tentu
tidak baik untuk memompa semangat saat sedang mengerjakan suatu hal. Yang sering
terjadi justru, kita tidak dapat fokus kembali karena kepikiran apa yang
barusan mata kita konsumsi.
Dengan pola yang demikian biasanya aku hanya kuat 4 sampai 5
putaran podomoro sebelum akhirnya beristirahat panjang. Setelah memanfaatkan
CODM untuk mengisi waktu rehat pada siklus fokusku, aku bisa bertahan hingga 7
sampai 8 putaran.
Selain itu, bermain death match rasanya juga dapat
melatih kemampuan manajemen emosi. Saat awal-awal bermain kala itu, tiap
tertembak mati atau tidak dapat memenangkan game rasanya seperti ingin
mengumpat dan marah-marah saja. Semakin ke sini, rasanya emosi semakin stabil
dan malah sambil tertawa mainnya. (atau karena skill-ku yang makin jago maka
jarang mati dan kalah? :P).
Konklusiku, kalau tidak berniat menjadi gamer professional, bermain
video game itu jangan di waktu luang. Sebab, waktu luang harus kamu
manfaatkan dengan hal-hal ‘menyenangkan’ yang mengembangkan diri. Tetapi
luangkanlah waktu untuk bermain video game.
Aku meluangkan dan membatasi waktu di jeda siklus fokus
untuk bermain CODM. Fungsinya, untuk memicu adrenalin berkompetisi agar
bersemangat melangkah fokus lebih lama lagi.
My debut as a guest in a recorded talk |
***
Comments
Post a Comment