Sebuah dentum lembut mirip ketukan terdengar pelan dan akrab dari alat komunikasi purbaku. Suara itu kadang datang bersama datangnya bahagia, air mata, atau terkadang hanya hampa yang ikut serta bersamanya. Malam ini ia datang lagi, entah apa yang saat ini kuharapkan dalam hadirnya pada kesendirianku. Pelan-pelan ujung telunjukku menyentuhnya pelan agar terbuka. Ingin tahu, jadi perasaan macam apa yang ikut datang kali ini. Dan rambut pendekku hampir rontok berguguran di atas permadani membaca pesan itu setengah tidak percaya. Ibu jari dan telunjuk tiba-tiba kompak mencubit daging berlebih di perut. Kalau benar ini bukan mimpi atau sekedar halusinasi, berarti balasan itu resmi membuka obrolan lintas ruang pertama kami dalam hampir setahun terakhir. Sungguh sulit untuk dipercaya. Setelah ribuan detik terlewati, dengan perasaan dianggap seperti angin malam yang dingin, dan biarkan berlalu, akhirnya. Dia tahu bahwa aku masih ada, dan organ tubuhku termasuk mulut dan hati masih berf