Skip to main content

Muslimkah?

Pernah Suatu hari pada jam belajar malam saat lagi iseng buku tauhid jilid 1 untuk kelas 4—dalam rangka mendekatnya ujian akhir tahun—yang materinya buanyak buanget, Muchtar, seorang teman sekelas yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata anak-anak yang lain dan kemampuan menghafal yang super bertanya—maklumlah, kelas atas, jadi waktu belajar biasa dipake iseng dan ngapain aja, yang penting bukan belajar. Lebih-lebih orang seperti Muchtar yang kecerdasannya diatas rata-rata.
“Bagaimana cara membuktikan bahwa Tuhan itu ada dengan logika kepada orang-orang atheis tanpa menggunakan dalil Al-Qur’an maupun hadits, karena jelas mereka tidak percaya Tuhan, apalagi nabi,” pertanyaan itu jelas ditujukan kepadaku yang duduk pada bangku di belakang tempat Muchtar duduk. Lebih-lebih dengan buku Tauhid yang sedang aku pegang, pertanyaannya setema dengan buku itu.
Glek. Aku yang pengetahuan agamanya masih cetek merasa seperti ditodong dengan pisau oleh kawan sendiri. Ternyata pertanyaan Muchtar itu tidak hanya aku yang mendengarnya. Tapi pertanyaan Muchtar teah mengambil perhatian semua anak-anak yang ada di kelas. Semua pasang mata mengarah Muchtar, atau lebih tepatnya kepada kami berdua, tidak sabar dengan jawabanku.
“Buktinya adalah wujud ente sendiri,” jawabku sekenanya dengan pandan
gan tajam ke mata Muchtar. Aku tahu, dari cara bicara dan sorot matanya, anak ini bukan santri biasa. Mana ada orang lain yang menanyakan pertanyaan semacam itu. Muchtar memang pintar.
“Ana?” Jawabnya menuntut jawaban lain.
“Iya, ente, bagaimana bisa ‘Muchtar’ itu ada tanpa ada yang menciptakan. Padahal kursi, pulpen, meja, dan semua barang yang sesederhana itu harus ada manusia yang membuatnya. Sedangkan susunan tubuh ente itu sangat rumit. Dan tidak mungkin terjadi dengan kebetulan.”
Suasana kelas jadi panas. Malam itu 4B tidak belajar terbimbing, kebetulan wali kelas juga tidak hadir. Kelas kami jadi arena debat antara seseorang yang mengaku muslim, dan seorang muslim yang mempertanyakan kemuslimannya.
“Kalau semua ada penciptanya, berarti Tuhan juga diciptakan, dong?”
HAAH??!! Kira-kira seperti itu ekspresi anak-anak mendengar pertanyaan Muchtar.
“Nggak lah, Pencipta itu berbeda dengan ciptaannya. Seperti antara ente dan mobil, apa sama manusia yang membuat, sama dengan mobil yang dibuat. Jelas tidak. Tuhan pun juga memiliki sifat-sifat Agung yang tidak dimiliki oleh manusia. Kalau yang disebut dengan Tuhan itu diciptakan, berarti dia bukan tuhan,”
Mulai di situ cara berdebat Muchtar mulai tidak fair lagi, hanya mengulang-ulang argument dan menuntut jawaban yang sebenarnya sudah dijawab.
Ramdhani yang teman sekelas sekaligus mudabbir Muchtar di rayon hanya tertawa terpingkal-pingkal dan bilang, gitu-tuh, saking pinternya bocah. Sampai Tuhan juga di kritisi.
Di satu sisi aku justru kagum dengan Muchtar yang ingin tahu, atau sebenarnya dia tahu tapi hanya ingin mengetes orang lain?
Di sisi lain…
“Jadi kalo ente emang gak percaya tuhan itu ada, buat apa lo mondok di Gontor, trus buat apa lo setiap hari shalat 5 kali, ngaji?”
Hebatnya, Muchtar ini hafal beberapa juz Qur’an.
“Gue mondok karena orang tua, dan shalat karena bi’ah—lingkungan.”
Huruf yang di bold adalah jawaban yang membuat gue melongo. Entah jujur atau jawaban ngasal, ternyata Muchtar shalat hanya karena lingkungan yang memaksa untuk shalat. Di Gontor, setiap 5 waktu shalat semua kegiatan memang berhenti, lalu para pengurus sibuk menyuruh anggota untuk berganti dengan pakaian shalat, lalu menunaikan shalat jama’ah di kamar masing-masing. Yang mengerikan adalah jika ternyata orang seperti Muchtar ini ada banyak. Bagaimana jika ternyata sebagian atau bahkan sebagian besar orang di Gontor seperti Muchtar? Menunaikan Shalat hanya atas dasar lingkungan yang memaksa. Bukan panggilan hati dan kewajiban sebagai seorang Muslim. Kalau begitu, ada berapa orang munafik disini, shalat hanya di Gontor, dan kemudian ketika lepas dari tempat yang memaksa ini, lepas dari perilakunya sebagai seorang muslim.
Pertanyaan itu terjawab ketika gue lagi tinggal bareng seorang temen pondok yang demen banget sama kartun, game, dan segala macem. Di pondok emang orangnya susah dibilangin, susah disuruh, kelihatan baik doing di depan. Nyatanya dia, yang memang lagi asik streaming yutub lebih memilih menundah shalat maghrib sampai setengah tujuh demi menyelesaikan videonya setelah diingatkan berulang kali. Dan menunda shalat isya hingga jam Sembilan lewat demi hal yang sama. Ironi memang. Betapa banyak orang muslim di negeri ini, tapi betapa lebih banyak orang yang muslimnya hanya pura-pura. Seolah semua ini hanya permainan belaka.

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...