Skip to main content

L-U-L-U-S

Hari ini dimulai dengan kata ‘tumben’. Tumben aku bisa bangun pagi, tepat saat adzan subuh dari masjid dekat rumah berkumandang. Lebih tepatnya, tumben bisa langsung bangun saat adzan sampai ke telinga. Sebenarnya, biasanya juga mata terbuka saat adzan berkumandang, tapi lanjut tidur, dan baru bisa bangun pukul enam tepat. Karena ini merupakan sebuah momen yang sangat langka, maka aku memutuskan untuk segera beranjak dari tempat tidur dan mengambil wudhu, memakai kemeja, dan melangkahkan kaki ke masjid.
Keanehan hari ini tidak hanya berhenti di situ. Sepulang dari masjid, pukul 5 kurang 15 menit pagi, sama sekali tidak ada keinginan dalam diriku untuk melanjutkan tidur, aneh kan. Karena tidak bisa memejamkan mata lagi, aku memutuskan untuk mengambil handuk dan langsung mandi pagi. Terasa dingin. Sekalipun air yang digunakan mandi adalah air hangat dari waterheater.
Pagi ini diriku terasa seperti bukan diriku, seakan ada sesuatu yang menggerakkan. Setelah mandi, aku langsung berpakaian. Ku buka lemari baju. Dengan cekatan, tanganku mengambil kemeja putih, memasangkan setiap kancing pada lubangnya, mengambil celana biru gelap, menaikkan resleting, mengencangkan ikat pinggang, memakai topi biru yang sudah 3 tahun ini ku pakai upacara, dan terakhir, di depan kaca, memasang dasi dengan rapi. Serapih mungkin.
Glek. Aku menelak ludah. Rapih banget pagi ini, kataku di depan kaca sambil mematut-matut seragam osis yang kukenakan.
Cplak!! Tiba-tiba tanganku menepuk keningku sendiri.
Dan seketika itu aku baru ingat. Ini adalah hari terakhirku jadi anak SMP. Pantas saja ada yang beda antara pagi ini dengan pagi-pagi yang lalu. Setidaknya dengan 800-an pagi sebelum hari ini. Pantas saja ada yang special dengan hari ini.
Aku sengaja duduk di teras rumah sambil memainkan HP, dan baru berangkat ke sekolah jam setengah tujuh. Sekolah, di Jl. Merapi yang terhubung dengan taman kota itu sudah ramai seperti yang aku mau. Hari ini memang hanya anak-anak kelas Sembilan saja yang masuk sekolah. Melihat wajah kawan-kawan yang berseri-seri menyapaku dengan senyum lebar, aku berasumsi bahwa hari ini special bukan hanya untukku saja. Pasti juga untuk 300-an kawan satu angkatanku di sekolah, dan minimal, untuk puluhan ribu siswa kelas 9 di seluruh Indonesia yang sebentar lagi akan melepas seragam putih-biru gelapnya.
Perasaanku jadi makin tak menentu. Bibirku tak henti-hentinya membalas senyum yang mereka berikan, juga tak henti-henti tertawa melihat mereka—Semoga bukan untuk yang terakhir kalinya.
Dan ini semua terasa begitu cepat. Begitu singkat. 3 tahun berlalu sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sekolah ini, hanya terasa seperti 3 bulan. Tidak terasa. Bahkan sejenak aku mempertanyakan pada diriku sendiri. Ini serius? Kita Lulus?
Lulus. Kata itu terdengar merdu sekali di telingaku. Eh, maksudku di telinga kami. Lulus.. adalah akumulasi dari do’a, keringat, lelah, dan perjuangan yang telah aku, eh, kami lakukan. Bukan hanya 3 minggu dalam ujian akhir lalu, tapi dalam 3 tahun yang telah kami lewati bersama.
Sekali lagi,, NGGAK KERASA! Rasanya baru kemarin kami dinyatakan lulus dari sekolah dasar, dan bahagia setengah mati masuk SMP. Ternyata hari ini kita lulus lagi, Guys!
Ah, Lulus lagi. Berarti kita harus ‘anu’ lagi. Deg… seketika ada sebuah detak jantung yang terasa panjang dan diiringi perasaan mengganjal, yang membuat mataku berair. Berartikita harus ber-pi-sah lagi. Perpisahan itu bagiku identik dengan mata berair, detak jantung tak menentu, pelukan, bahkan sesekali isak haru. Sebuah pertanyaan pun muncul, kapan kita ketemu lagi.
Berpisah. Berarti kita harus beradaptasi lagi, menyesuaikan diri lagi dengan kawan dan lingkungan baru. Memahami guru baru, mendalami pelajaran baru, memulai hidup baru. Ber-pi-sah. Besok kita sudah berganti rutinitas. Tidak naik angkot lagi ke sekolah, tidak mengayuh sepeda lagi ke sekolah, tidak beli es tebu lagi sebelum pulang ke rumah. Ah, Fahri lanjut ke SMA 3. Nino di SMA 1. Surya udah yakin banget ke 1 Surakarta. Mira keterima di Jogja, entah sekolah apa. Lila ikut tantenya di Jakarta. Malah, si Ovi serius berangkat ke Singapura ikut papanya kerja, ini lebih nggak tahu lanjut di sekolah apa.
Padahal, gue masih seneng godain Mas Amin waktu lagi nyebrangin anak-anak, gue masih demen main basket sore-sore. Gue masih betah disetrapin kepsek, dijemur, dipepes, digoreng asam manis. Bu Marni dan Mbak Pipit penjaga koperasi sekolah sekalipun, gue masih betah bercanda bareng mereka.
Ri, berarti besok kita gak bisa loncat pagar jam 8 lagi. No, lu jaga rahasia kita berdua soal Wi-fi sekolah yang suka mati waktu jam istirahat, Sur, nanti gue nanya fisika ke siapa, Lil, siapa yang bakal traktir gue siomay di kantin besok, Vi, siapa yang mau nemenin gue ngedance di Time Zone lagi, dan, Mir, jangan bosen ngomel ke gue, jangan bosen dengerin lagu-lagu hits versi suara fals gue, jangan lupa gue sekalipun kita jauh, dan, tenang, Mir, gak akan ada lagi orang aneh yang gangguin lu baca buku, gak akan ada lagi orang aneh yang ganggu lu belajar, gak aka nada lagi hantu-hantuan yang dateng ke depan jendela kamar lu, dan, gue nggak akan berharap lagi agar gunung es di hati lu cepet meleleh buat gue. Semuanya telah berakhir. Hari ini kita menutup sebuah buku yang akan kita buka, entah berapa tahun lagi. Buku yang pasti lucu, sekaligus mengharukan. Ditulis, selama 3 tahun dengan tinta emas. Karena besok, kita nggak bareng-bareng lagi, guys. Kita P-I-S-A-H
Gue pikir, emang udah seharusnya begitu. Nggak mungkin selamanya kita makai seragam ini, ada saat untuk melepaskan seragam kebanggaan kita. Dan inilah saatnya. Hidup memang begitu. Semuanya harus terus berjalan. Apapun resikonya. Entah air mata, sakit hati, dan semuanya yang menyakitkan. Harus begitu. Harus begitu. Kita harus terus melangkah untuk masa depan kita yang masih panjang. Biarlah setiap dari kita memilih jalannya masing-masing.
Walau haru, walau perih, sakit, air mata menetes, setidaknya, kita akan bertemu lagi. Suatu hari nanti. Gue, J-A-N-J-I.


Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...