Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2015

How Fast The Time has Passed

Lagi pengen jujur-jujuran dan mengenang beberapa step pertumbuhan yang telah berlalu. Dulu, saat aku hanyalah seorang bocah ingusan—padahal sekarang masih—berseragam putih dengan bawahan merah darah, melihat Alumni yang datang lagi ke MIN dengan seragam SMP kebanggaan mereka adalah sebuah momen yang sangat luar biasa. Itu adalah momen dimana hatiku ngiler deras. Saat melihat rombongan mereka datang untuk keperluan apapun, seakan mereka merkata padaku yang menatapnya penuh rasa takjub, “Kita dulu kaya kalian loh, tapi sekarang udah gede. Udah SMP.” Asem, batinku gondok-gondok sendiri. Itu sama dengan halnya saat aku dalam perjalanan, dan kebetulan melewati Jl. Merapi, di pertengahan jalan—tepatnya setelah pertigaan yang menghubungkan Jl. Merapi dengan arah kuburan—pasti aku yang melaju dari arah barat menyempatkan kepala untuk sekedar menengok ke kiri. Bangunan itu, di mata dan hatiku memiliki wibawa tersendiri. Ketika melihatnya walaupun hanya sekilas, seakan deretan gedung it

Botak (lagi)

Apakah kamu juga merasakan bahwa ada saat-saat tertentu dalam hembusan napasmu dimana kamu merasa bukan siapa-siapa dalam hidupmu sendiri? Aku merasakannya juga. Terlebih semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, hingga mau tidak mau rambutku harus hilang digundul. Semangat The Show Must Go On- ku seketika saja hilang bersama hilangnya ribuan helai rambutku dipootong oleh tukang cukur dengan upah lima ribu rupiah. Bagi banyak orang mutik—begitu kami menyebut santri dengan skill patuh pada peraturan tingkat dewa— gundul adalah satu hal yang sangat menyakitkan. Identiknya, orang yang kena hukuman botak akan langsung putus asa. Tiak mau turun ke klub olahraga lagi, tidak mau rueun ke klub musik lagi, kalau yang jadi jurnalis seperti ku yang tidak mau turun ke lapangan mencari berita lagi. Dalam skala yang lebih parah, bisa sampai malas sekolah bahkan untuk sekedar belajar sekalipun. Itu bukan tanpa alasan, loh. Sekali lagi botakitu memang menyakitkan. Pandangan semua orang t

Pulang (?)

Tepat hari ini, terhitung ujian tulis pertengahan tahun sudah berjalan selama 6 hari. Sisana tinggal 4 hari dengan jumlah mata pelajaran yang tidak sebanyak pada 4 hari pertama ujian dimulai. Semakin ujian akan selesai, justru jadi pertanda bahwa fase yang paling kami tunggu-tunggu selama 5 bulan terakhir akan segera datang. Sebagai seorang santri yang menuntut ilmu daslam lingkungan pondok pesantren, masa liburan adlah satu-satunya kesempatan buat kami untukmenghirup udara bebas dunia luar tanpa perlu mempertimbangkan apakah yang kami kerjakan itu melanggar disiplin atau tidak. Diluar, kami bebas mengerjakan apapun tanpa ada yang akan mengatur dan membatasi. Hal itulah yang membuat sebagian (besar) orang Gontor berpikir bahwa pulang adalah kesempatan berhura-hura untuk melepaskan title santrinya. Semau gue! Maka tidak heran kalau saat pulang, santri Gontor justru kerap kali melajkukan perbuatamn yang sebenarnya itu jauh melampaui batas seorang santri. Tidak heran kalau di

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep

Nyontek (?)

Mau sedikit cerita tentang pelajarannya anak Gontor. Disini, para pendiri pondok kami berprinsip untuk bersistem mandiri. Mulai dari cara mendidik hingga kurikulum pelajarannya. Maka jangan heran, meskipun bertitel modern dan berstatus international school, kelas disini tetap menggunakan kapur dan berbangku kayu panjang yang setiapnya diduduki oleh 4 murid. Secara bertahap, semua hal diusahakan bikinan sendiri, dan santri-santrinya harus mau mengikuti tanpa protes melalui sepatah kata pun. Karena kata Kiai Hasan, intervensi adalah kedzaliman. Dalam kurikulum Kulliyatu-L-Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) yang digunakan Gontor, hampir 85% materi pelajarannya menggunakan bahasa asing sebagai pengantar. Yakni Bahasa Arab dan Inggris. Di setiap kelas, paling banyak hanya terdapat 3-4 materi pelajaran yang menggunakan Bahasa Indonesia. Pelajaran dengan bahasa arab sebagai pengantar memang dinilai sulit oleh sebagian orang. Namun setelah paling lama dua tahun menjalani proses bela

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga

U M I

Setiap bulan, ditengah-tengah kesibukannya, Umi selalu menjadwalkan untuk datang ke Gontor menjengukku dan Mas Thoriq. Kadang-kadang ditemani Mbak Dinar, ataupun Abah. Tapi lebih sering yang kurasakan adalah Umi datang tanpa teman. Menyetir sendirian dari Boyolali ke Ponorogo. Kalau datangpun tidak pernah setengah-setengah. Pasti selalu membawa masakan bermacam-macam yang dimasak dengan cinta. Berbeda dengan makanan sehari-hariku di dapur yang entah siapa yang memasak. Dan aku selalu menikmati makanan yang nikmatnya sampai ke hari itu. Sejujurnya aku tahu, Umi pasti lelah, tapi beliasu selalu menyembunyikannya dari kami. Kasih sayang Umi padaku bukan hanya kurasakan begitu aku masuk Gontor dan jauh dari rumah, namun sejak aku kecil dan bukan apa-apa. Bahkan sejak aku belum mampu membedakan antara yang terang dan gelap. Sejak kecil Umi-lah yang hampir selalu mengurusi keperluanku. Aku sepenuhnya ingat saat Umi mengajariku membaca dengan buku-buku warisan dari Mbak Dinar. Saat itu