Skip to main content

Botak (lagi)

Apakah kamu juga merasakan bahwa ada saat-saat tertentu dalam hembusan napasmu dimana kamu merasa bukan siapa-siapa dalam hidupmu sendiri?

Aku merasakannya juga. Terlebih semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, hingga mau tidak mau rambutku harus hilang digundul. Semangat The Show Must Go On-ku seketika saja hilang bersama hilangnya ribuan helai rambutku dipootong oleh tukang cukur dengan upah lima ribu rupiah.

Bagi banyak orang mutik—begitu kami menyebut santri dengan skill patuh pada peraturan tingkat dewa— gundul adalah satu hal yang sangat menyakitkan. Identiknya, orang yang kena hukuman botak akan langsung putus asa. Tiak mau turun ke klub olahraga lagi, tidak mau rueun ke klub musik lagi, kalau yang jadi jurnalis seperti ku yang tidak mau turun ke lapangan mencari berita lagi. Dalam skala yang lebih parah, bisa sampai malas sekolah bahkan untuk sekedar belajar sekalipun.

Itu bukan tanpa alasan, loh. Sekali lagi botakitu memang menyakitkan. Pandangan semua orang terhadap kepala tanpa rambut pasti buruk. Apalagi pandangan seorang wali kelas yang yahu anggotanya serong botak. Pasti dianggapnya nakal dan tidak beradab. Hingga botak bisa menjadi penyebab seorang murid dimutasi ke pond
ok cabang.

Orang botak itu kemanapun mereka—kami— pergi harus selalu berpeci. Supaya silaunya tidak mengganggu orang lain, katanya. Mending ya kalau kami punya ingatan kuat. Sayangnya kami lebioh sering lupa memakai peci. Hingga entah berapa kali harus pulang lagi ke asrama, padeahal sudah jauh berjalan hanya karena satu alasan. Mengambil peci.

Orang gundul itu tidak boleh keluar pondok, tidak boleh ikut penampilan perkajum, tidak boleh berolah-raga, bahkan sekedar menonton pun tidak boleh. Sejujurnya botak itu enak, kepala terasa dingin dan tidak perlu repot-repot menyisir. Tapi satu hal yang paling menyakitkan dari itu semua adalah waktu sore hari kami, yang seharusnya kami gunakan untuk melepas penat setelah berjuang menahan kantuk di kelas untk belajar sejak pagi hingga siang hari, direnggut oleh bagian keamanan pusat dengan satu kegitan yang paling membosankan. Amal Makhluqin. Kaya kerja bakti, untuk para kaum tak berambut di sore hari. Shit.

Padahal jam-jam di sore hari itu seharusnya bisa kami pakai untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Parahnya, sering kali amal makhluqin  itu baru selesai pukul lima kurang lima menit. Sementara bel waktu terakhir datang ke masjid adalah pukul lima lebih lima menit. Sepuluh menit terakhir sebelum jaros itu mana cukup digunakan untuk antri mandi. Kalau sampai terlambat ke masjid, kena blacklist. Namamu tertulis di buku blacklist tiga kali saja, sudah kena hukuman botak lagi. Ah, semuanya jadi serba salah.

Hidup di pondoki ini memang penuh sekali dengan ancaman botak. Dan botak itu begitu menyedihkan. Tapi soal amal makhluqin itu nggak terlalu jadi masalah bagiku. Karena hampur satu minggu lebih masa baktiku menjadi romusha, aku selalu mendapat kertas rekomendasi terlambat ke masjid.

Padahal sebelumnya aku sudah berpikir untuk benar-benar menghidupkan api The Show Must Go On ku. Didalama kepalaku, semuanya harus berjalan dengan lancar apapun resikonya. Wawancara haris sampai tuntas walaupun harus terlambat ke masjid. Sidang redaksi harus sampai selesai walaupun resikonya adalah gundul karena kumpul tembus adzan isya’.tapi semua pikiran itu musnah dalam sekejap saat rambutku juga hilang. Apu semangan The Shoe Must Go On ku berubah menjadi es keputusasaan yang sangat dingin.

Aku justruberbalik menyalahkan keadaan. Kuanggap semua ini adalah karena kursus dan instansiku. Sejak pikiran itu menyelimuti otakku, aku jadi ingin sedikit dimengerti keputusasaannya. Aku mulai jadi malas mencari berita, malas datang ke perkumpulan. Tapi ternyata aku salah. Lepas dari kegiatan yang sudah menjadi bagian hidupku justru tidak mendatangkan kebahagiaan dan perasaan tenang, yang ada malah perasaan bersalah yang semakin mendalam karena sering telat mengumpulkan berita atau bahkan tidak.

Ternyata benar apa yang sebagian orang bilang, jangan pernah berputus asa. Berapa kali pun rambutmu hilang digundul.

Botak, atau hukuman lain itu ada karena kita bergerak. Itu adalah bagian dari gesekan pergerakan sebagai konsekuensi yang harus diterima akibat pergerakan. Bedakan antara orang-orang yang hanya mengalir dalam arus sungai peraturan. Rambut mereka memang selalu utuh. Tapi apakah mereka merasakan kenikmatan memiliki rambut itu jika mereka tidak pernah kehilangannya. Juga apakah mereka sekuat diri kita yang banyak mengecap pahit-asam kehidupan (?)

Selama kamu beriman, dan kesalahanmu bukan karena menentang syariat Allah, bukan karena melanggar ajaran agama, jangan takut. Innallaha ma’ana.


ð  Ditulis ketika ulil sedang down se –down-downnya setelah kehilangan rambut karena kumpul tembus

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...