Skip to main content

Damainya Gontor Tanpa Marosim~


Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan

Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat.

Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tepat, dan sudah milai diganti dengan yang benar: tabkir. Yang artinya mempercepat.

Marosim tersebut paling banyak dipraktekan oleh mudabbir di rayon-rayon. Umunya cara yang digunakan adalah dengan menepuk-nepukkan tangan sambil berteriak menghitung sekeras mungkin. Cara tersebut memang cukup dibilang efektif untuk memaksa para santri agar segera mempercepat gerakannya.


Namun justru hal itu yang menurut sebagian lain yang tidak setuju dengan sistem marosim adalah bukti dan penyebab santri Gontor jadi lelet. Karena terlalu banyak marosim, sering-sering para santri jadi bermalas-malasan untuk berpindah ke kegiatan yang lain dan harus menunggu marosim.

Marosim, dengan cara bertepuk tangan dan menghitung  itu juga membuat suasana pondok menjadi tidak tenang. Terutama ketika menjelang waktu shalat. Tepukan dan teriakan para mudabbir membuat suasana menjadi kurang atau bahkan tidak kondusifsama sekali untuk khusyu’ beribadah.

Dan ini adalah hari ke-3 marosim dihapuskan. Entah apa sebabnya marosim untuk semua kegiatan dilarang. Atau lebih tepatnya, tepuk tangan dan teriakan dalam marosim yang dilarang. Pelarangan tersebut sebenarnya sudah dilakukan secara bertahap. Sebelumnya yang dilarang adalah membawa ‘senjata’ dalam marosim. Karena dahulu, mudabbir yang sedang marosim biasa membawa tongkat kayu ataupun besi untuk menakut-nakuti anggotanhya. Kemudian tepuk tangan yang dilarang. Tapi pelarangan tersebut sama sekali tidak berasar. Suasana pondok tetap susah dibuat khusyu’ untuk shalat.

Semenjak ada pengumuman bahwa marosim tidak lagi boleh itu shalat baru bisa terasa khusyu’. Karena tidak lagi ada suara teriakan-teriakan manusia yang memekakkan telinga sebelumnya. Mending kalau hanya mendengarkan marosim dari satu rayon. Di rayon saudi saja minimal ada tiga lantai rayon yang melakukan marosim secara bersamaan. Bisa dibayangkan betapa ributnya saat marosim, dan betapa tenangnnya begitu hal tersebut dihapuskan.

Baru setelah dekrit pelarangan marosim yang ketiga ini pondok benar-benar dapat disebut kampung yang damai. Tugas mudabbir selanjutnya adalah menghapus mereka yang masih bermental menunggu marosim untuk bergerak. Itu adalah tugas yang berat bagi mudabbir. Kerena untuk itu, berarti para mudabbir harus memberantasi kemalasan anggota.

Para anggota pun juga harus tau diri, sudah diberi enak tidak berisik, maka haris mulai belajar tau waktu. Di rayon kibar yang anggotanya sudah cukup dewasa, perbaikan sebagai efek dihapuskannya marosim tersebut sangat terasa positif. Tanpa menunggu mudabbir bekerja, para anggota sudah mulai tanggap mengingatkan temannya agar cepat bangun tidur, cepat berwudlu, cepat berganti baju, agar kegiatan pondok tetap berjalan dengan lancar seperti semestinya, tanpa marosim sekalipun.

Walaupun dulu di dalam marosim itu dikatakan terdapat pendidikan, tapi secara pribadi menurut saya justru ada pndidikan lebih besar dalam penghapusan marosim tersebut. Jika penghapusan tersebut terus dilanjutkan, dibarengi dengan kesadaran santri untuk bersikap atasnys, kedepan kualitar santri Gontor akan meningkat. Bertambah dengan satu nilai plus yang sebenarnya selama ini hilang di banyak jiwanya. Cekatan.

Selain itu jargon kampung damai yang selama ini Gontor unggul-unggulkan akan benar-benar jadi kenyataan. Karena, kadang orang berpikir bahwa pondok ini brutal sekali saat mereka melihat marosim sedang berlangsung.

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...