Skip to main content

Posts

Showing posts from 2017

Dibalik Objektivitas Nilai Ujian di Gontor

Ketika lembaga pendidikan lain di Indonesia yang mengikuti perkembangan teknologi informasi mulai menerapkan Computer Based Test (CBT) dalam pelaksanaan Ujian Nasional, dalam Imtihan Nihaiy , Gontor tetap teguh pendirian dengan sistem ujian yang tidak menyediakan pilihan ganda sama sekali. Sebenarnya sistem ujian seperti itu bukan hanya dilaksanakan pada Imtihan Nihaiy alias ujian akhir untuk para santri kelas 6, sejak kelas satu, semua jenis ujian tulis yang ada di Gontor tidak pernah menyediakan pilihan ganda. Ujian tulis di Gontor sepenuhnya dilaksanakan dengan pertanyaan esai yang menuntut seorang santri untuk mengungkapkan hasil belajar yang tersimpan di dalam kepalanya ke dalam bentuk tulisan di atas kertas lembar jawaban. Pelaksanaan ujian semacam itu menuntut seorang santri untuk menguasai materi pelajaran seutuhnya. Sebab kelengkapan jawaban, kesesuaian huruf bahkan harokat aksara arab sekalipun bisa jadi mempengaruhi nilai. Begitu juga pada ujian materi pelajaran matem

Kecopetan di Jakarta!

Definisi bahagia bagi saya sangatlah sederhana; bepergian jauh dengan bis berpendingin udara selama berjam-jam, sambil mendengarkan lagu kesukaan dengan earphone dan melihat berita terkini di media sosial melalui perangkat telpon genggam pintar. Saya sangat suka dengan suasana seperti itu. Melihat keramaian di jalan raya malam berpenerangan lampu-lampu kuning dari balik kaca bus. Momen seperti itu, saya rasakan ketika saya menghabiskan awal liburan panjang di bulan Ramadhan 1436H lalu. Ketika itu, saya bersama teman-teman kru klub jurnalistik di sekolah merencanakan sebuah perjalanan ke Jakarta untuk berkunjung ke kantor-kantor media massa nasional, baik cetak, elektronik, ataupun online. Saat itu kami duduk di kelas X SMA, ketika naik kelas usai liburan panjang di bulan Ramadhan itu, kami akan menjadi pengurus klub jurnalistik tersebut. Maka tujuan kami mengadakan perjalanan tersebut adalah untuk menimba ilmu agar nanti kami memiliki ‘sesuatu’ untuk dibagikan kepada anggota klub k

Pak Nur dan Worldview Aqidah Islamnya

Di suatu sudut  dalam ruang dosen pria di kampus Rabitah Universitas Darussalam Gontor itu, ada satu benda yang kurasa karena terlalu lama tak tersentuh oleh tangan manusia, mulai berdebu tipis permukaannya. Benda itu adalah stopmap hard cover berwarna biru dongker. Isinya hanyalah beberapa lembar absen kehadiran mahasiswa dan satu lembar kertas HVS jurnal materi kuliah untuk dosen. Dari beberapa lembar yang masing-masing berisi 5 kolom kehadiran, hanya ada satu kolom yang sudah terisi. Benar! Selama hampir 4 bulan masa aktif perkuliahan, kami baru masuk satu kali saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Ketika masuk untuk kedua kalinya, Pak Muhammad Nur, sang dosen, menyatakan bahwa dirinya bahkan sampai lupa mengajar materi apa di kelas kami. Sementara beliau tidak tahu bahwa kami para mahasiswanya ini sangatlah berharap-harap untuk masuk lagi dan masuk terus pada mata kuliah Worldview Aqidah Islam. Pada pertemuan pertama, Pak Nur telah membuat peraturan bahwa mata kuliah yang di

Sebelum berkenalan dengan kecopetan di Megapolitan

Ada kalanya gw punya acara di Jakarta yang berupa rentetan kunjungan ke beberapa kantor media masa untuk belajar dari ahli. Acara tersebut berlangsung selama beberapa hari, diantara hari-hari yang menyibukkan gw untuk pindah dari satu daerah di Jakarta ke daerah yang lain untuk mencapai kantor yang akan kami kunjungi, ada satu hari yang kosong. Maka tidak ada pilihan lain bagi tim gw untuk menghabiskan satu hari tersebut kecuali dengan : liburan! Mumpung di Jakarta. Tapi karena diantara 10 orang tim gw itu nggak ada orang yang asli Jakarta, alhasil kami tidak tahu harus jalan kemana dan naik apa. Saat itu pun kami masih terlalu primitif untuk mengetahui tempat jalan asik dengan aplikasi gawai pintar. Akhirnya kami hanya mengandalkan pengetahuan di masa lampau, yakni mengandalkan ingatan seorang teman yang pernah jalan ke Kota Tua. Sebelumnya gw hanya kenal kota tua dari acara di tivi-tivi, dan kesan saat pertama kali bener-bener dating di Kota Tua adalah : daerah ini memang be

Satu Jurusan Bisa Jadi Beda Jalurnya : Kisah Sedih Salah Naik Bus

Ibarat pepatah sekali mendayung dua pulau terlampaui, dalam satu perjalanan pulang itu, saya mendapat dua pelajaran penting tentang dunia bus. Kejadiannya pada akhir tahun 2015, waktu itu saya masih kelas 5 KMI, yang sedang menghabiskan liburan pertengahan tahun dengan durasi 10 hari. Karena itu adalah liburan terakhir sebelum saya harus bermukim di pondok sampai lulus, saya memutuskan untuk membuat liburan itu lain. Dari 10 hari itu, saya menghabiskan lima hari pertama di Pulau Lombok, dan lima hari sisanya di Boyolali. Berdasarkan pertimbangan harga tiket yang lebih murah, saya pulang dengan pesawat yang mendarat di Bandara Juanda Surabaya, yang harga tiketnya Rp 400 ribu lebih murah dibandingkan dengan pesawat yang mendarat di Jogjakarta. Konsekuensinya, saya harus melakukan perjalanan darat dari Surabaya menuju Boyolali untuk sampai ke rumah. Seharusnya perjalanan Surabaya ke Boyolali itu menjadi perjalanan yang mudah dibawah arahan dan petunjuk ayah saya. Pasalnya, be

Hidup yang Mie Instant

Saya adalah salah satu penggemar mie instant. Memang tidak mengonsumsinya secara berlebihan. Tapi saya pernah menjadikan mie instan sebagai solusi alternatif mengisi perut ketika tidak ada makanan lain saat sarapan, sahur, dan makan malam. Ada juga kalanya ketika saya menganggapnya sebagai camilan untuk mengganjal perut kosong tetapi jam makan belum datang. Suasana yang paling bisa membuat saya menikmati mie instant adalah ketika hujan turun deras. Yakni dengan menambahkan beberapa potong cabe rawit pada mie kuah. Semakin kecil dan semakin muda warna hijau cabainya, maka semakin nikmat pula sensasi pedas dan puas yang saya rasakan. Ketika saya bersekolah di Gontor, ternyata saya menemukan fenomena fanatisme terhadap mie instant yang lebih gila. Setelah nasi ayam yang dijual di kantin-kantin, mie instant dan olahannya menjadi menu paling favorit yang disukai oleh mayoritas murid. Apalagi ketika ujian. Mie instant seolah menjadi teman yang selalu ada untuk menenangkan perut

Antara Fasl Fauq dan Fasl Taht,

Secara formal, ada sebuah sistem yang mengatur pembagian kelas untuk siswa Gontor yang baru naik kelas. Yaitu dengan mengurutkan nama-nama mereka berdasarkan nilai ujian. Dengan kata lain, orang dengan nilai paling tinggi, seharusnya ditempatkan di kelas B yang merupakan abjad kelas tertinggi dengan nomor urut saru. Selanjutnya, akan diikuti oleh siswa-siswa lain berdasarkan nilai mereka dari yang paling tinggi ke yang paling rendah. Sistem pembagian kelas itu, di kemudian hari, menciptakan dua golongan akademis yang dipercaya memiliki kemampuan intelektual yang berbeda. Dua golongan itu adalah: fasl fauq , yang secara Bahasa berarti kelas tinggi, dengan rentangan B sampai F. mereka dianggap sebagai golongan dengan kepandaian tinggi. Yang kedua adalah fasl taht , secara etimologi berarti kelas rendah, dengan rentangan G sampai kelas terakhir. Berbanding terbalik dengan fasl fauq , fasl taht dianggap sedikit kurang dalam hal akademis. Anggapan yang berbeda terhadap fasl fauq

Hari yang Berat Untuk Para Orang Tua

Hari Ahad, 9 Juli 2017, hari ketika hasil ujian masuk KMI diumumkan. Untuk pertama kalinya, anak-anak kecil yang merasa, atau dianggap dirinya cukup jagoan untuk belajar di Gontor, harus belajar banyak tentang kenyataan yang sering kali harus jauh dari apa yang untuk kurun waktu panjang, telah diharap-harapkan. Kebetulan, di hari Ahad saya hanya memiliki satu jadwal mengajar materi matematika kelas 1 yang belum memiliki murid, sehingga otomatis menjadi kosong, dan jadwal untuk mengecek keadaan asrama anak baru, yang otomatis juga belum dihuni karena penghuninya sedang mendengarkan nasib mereka dibacalan satu-persatu. Sungguh, saya tidak kasihan sama sekali dengan para calon pelajar itu. Fokus saya ketika keluar kamar pagi ini bukan tertuju pada 2800-an calon murid yang sedang duduk di bawah terop, yang dengan seksama, serius mendengarkan satu-persatu nomor ujian yang lulus dibacakan. Sekalipun mereka harus berkipas-kipas dengan buku tulis untuk menciptakan angin buatan agar ti

Hilang

Hilang /hi-lang/  1 tidak ada lagi; lenyap; tidak kelihatan 2 tidak ada lagi perasaan 3 tidak dikenang lagi; tidak diingat lagi, lenyap Hilang, sebuah kata sederhana dalam bahasa Indonesia dengan dua suku kata dan 6 aksara. Sangat sederhana. Sesederhana bagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan maknanya. Tapi sering kali, sebuah kata yang seharusnya juga hanya memberikan konsekuensi sederhana itu justru membuat kita, atau minimal saya, kacau. Apa perasaanmu ketika sesuatu hilang? Bagaimana jika suatu hal itu amat sangat penting? Bagaimana jika suatu hal tersebut pernah menjadi pemompa semangatmu yang menghilangkan bosan? Bagaimana jika suatu hal tersebut telah membuatmu menatap masa depan lebih terang dan berarti? Bagaimana Perasaanmu? Atau kita balik. Bagaimana perasaanmu jika kamu menghilang? Bagaimana jika kamu adalah suatu hal yang amat sangat penting bagi suatu hal yang lain? Bagaimana jika ternyata, selain penting, kamu juga merupakan suatu ha