Ketika lembaga pendidikan lain di Indonesia yang mengikuti
perkembangan teknologi informasi mulai menerapkan Computer Based Test
(CBT) dalam pelaksanaan Ujian Nasional, dalam Imtihan Nihaiy, Gontor
tetap teguh pendirian dengan sistem ujian yang tidak menyediakan pilihan ganda
sama sekali. Sebenarnya sistem ujian seperti itu bukan hanya dilaksanakan pada Imtihan
Nihaiy alias ujian akhir untuk para santri kelas 6, sejak kelas satu, semua
jenis ujian tulis yang ada di Gontor tidak pernah menyediakan pilihan ganda.
Ujian tulis di Gontor sepenuhnya dilaksanakan dengan pertanyaan esai
yang menuntut seorang santri untuk mengungkapkan hasil belajar yang tersimpan
di dalam kepalanya ke dalam bentuk tulisan di atas kertas lembar jawaban.
Pelaksanaan ujian semacam itu menuntut seorang santri untuk menguasai materi
pelajaran seutuhnya. Sebab kelengkapan jawaban, kesesuaian huruf bahkan harokat
aksara arab sekalipun bisa jadi mempengaruhi nilai. Begitu juga pada ujian
materi pelajaran matematika. Dalam ujian pilihan ganda, seseorang bisa memilih
jawaban secara asal dan mengharapkan kebetulan memilih huruf dengan jawaban
yang betul. Hal tersebut tentu tidak akan berlaku dalam sistem ujian esai
karena setiap cara yang ditulis pada lembar jawaban untuk menyelesaikan soal
akan diberi nilai.
Selain itu, sistem ujian
dengan pertanyaan esai semacam itu juga merupakan cara yang sangat ampuh untuk
melawan satu hal yang paling diperangi oleh Gontor dalam ujian : Menyontek.
Tentu seorang murid akan sangat kesulitan jika harus menyontek jawaban orang
lain berupa kalimat-kalimat bahasa arab yang ditulis dengan khot masing-masing
yang pun kadang tidak bisa dimengerti maksud tulisannya kecuali oleh pemiliknya
sendiri dan Tuhan Yang Maha Esa. Tidak seperti ujian pilihan ganda yang
menyonteknya cukup diketahui nomer dan abjadnya saja.
Karena tidak menerapkan sistem pilihan ganda, tentu Gontor tidak
punya Lembar Jawab Komputer, juga alat scan pengoreksinya. Yang ada hanyalah
lembar jawaban berupa kertas buram yang ditempeli selembar kertas lain untuk
menulis identitas diri, dan para pengajar mata pelajaran yang mengoreksi lembar
jawaban murid-muridnya secara objektif, murni berdasarkan jawaban yang tertulis
tanpa terpengaruhi siapa muridnya dan apa yang telah dilakukan untuk gurunya.
Kali ini saya akan sedikit bercerita tentang perjalanan kertas buram tempat santri
menulis jawaban ujian itu dan sistem yang menjaga objektivitas penilaian
seorang guru terhadap jawaban muridnya.
Di kantor harian panitia ujian semester, ada sebuah ruangan dimana
seluruh kertas jawaban para santri dikumpulkan oleh masing-masing pengawas.
Kemudian lembar-lembar jawaban tersebut disortir perkelas dan diserahkan kepada
pengajar masing-masing mata pelajaran untuk dikoreksi.
Khusus untuk tugas yang memerlukan ketelitian tingkat tinggi ini,
panitia memiliki pasukan sejumlah 35 orang dari santri kelas 6 yang disebut
dengan nomerator. Mereka tidak sembarang dipilih, kriterianya adalah berasal
dari rentang kelas B sampai F, dan memiliki rekam jejak akademis yang baik. Hal
tersebut semata-mata dilakukan untuk meminimalisir keteledoran yang mungkin
terjadi di ruangan tersebut. Sebab kesalahan kecil dalam pekerjaan nomerator,
taruhannya adalah nilai ujian para santri.
Sebelum melanjutkan tulisan, berikut adalah gambaran sirkulasi
lembar jawaban yang masuk dan keluar ruang numerator.
Santri Gontor di kampus pusat dari kelas satu sampai lima jumlahnya
mencapai 3000 orang lebih. Mereka dibagi ke dalam kelas-kelas yang kurang lebih
jumlah murid perkelasnya adalah 35 orang. Setiap hari, satu kelas menghadapi
2-3 jam pelajaran ujian. Rata-rata jumlah abjad dari semua kelas pada tahun ini
adalah 13. Jika saja dipukul rata bahwa semua kelas menghadapi 2 mata pelajaran
setiap hari, maka dalam satu hari minimal ada 6.370 lembar jawaban yang masuk
ke ruang numerator. Jumlah itu belum termasuk mereka yang meminta kertas
tambahan karena satu saja tidak cukup untuk menulis hasil belajar mereka. Dan belum
termasuk kelas tiga, empat, dan lima yang hampir setiap hari menghadapi 3 mata
pelajaran.
Jadi dalam satu ujian semester selama 11 hari, jumlah kertas lembar
jawaban yang bersirkulasi di ruang numerator bisa mencapai 80.000 kertas lebih.
Setelah para pengawas ruang ujian mengumpulkan lembar jawaban di
tempat yang telah dipisahkan perkelas, tugas pertama seorang nomerator adalah
mengabsen lembar jawaban yang masuk, hal itu untuk memastikan lembar jawab dari
satu kelas yang sebelumnya terpisah di beberapa ruang sudah lengkap. Juga agar
tidak ada lembar jawaban dari kelas lain yang tercampur. Jika belum lengkap,
mereka tidak boleh melanjutkan pekerjaan ke langkah selanjutnya, mereka harus
tahu kemana perginya lembar jawab tersebut terlebih dahulu dan dan
menemukannya.
Setelah lembar jawaban dari satu kelas pada satu mata pelajaran
sudah lengkap, mereka akan menulis nomor yang sama pada lembar jawaban dan
lembar identitas diri. Penulisan nomor tersebut tidak boleh sembarangan, ada
beberapa mekanisme yang harus dipatuhi. Pertama dan yang paling penting, nomerator
tidak boleh menulis nomor yang sama dengan nomor absen santri tersebut di kelasnya.
Kedua, tidak boleh pula menulis secara urut dari belakang. Yang jelas,
pemberian nomor pada lembar jawaban tidak boleh membentuk suatu pola tertentu,
harus secara acak.
Setelah selesai memberi nomor, setiap numerator melaporkan hasil
pekerjaannya kepada panitia ujian, langsung berhadap-hadapan. Untuk kedua
kalinya, panitia ujian memeriksa agar tidak ada satupun lembar jawaban yang
belum diberi nomor, dan memastikan bahwa pemberian nomor tidak membentuk suatu
pola tertentu.
Kemudian bersama panitia ujian, numerator melepas semua kertas
identitas diri dari lembar jawabnya, jadilah lembar jawaban itu tidak diketahui
milik siapa karena tidak ada tanda lain selain nomor acak yang ditulis oleh nomerator.
Nantinya, hanya panitia ujian sajalah yang tahu suatu lembar jawab milik siapa
karena mereka saja yang menyimpan lembar identitas diri itu. Hal tersebut juga
mengingat bahwa panitia ujianlah yang bertugas memasukkan nilai ujian para
santri.
Pada tahap akhir, nomerator memasukkan lembar jawab yang sudah ‘ditelanjangi’
itu ke dalam satu amplop lalu menyegelnya. Selanjutnya adalah tugas tim lain
bernama distributor untuk menyerahkan amplop tersebut kepada para pengajar
setiap materi.
Ketika mengoreksi, seorang pengajar hanya mendapatkan lembar jawab
tanpa identitas diri, hanya ada nomor-nomor acak yang nantinya digunakan untuk
mengidentifikasi suatu lembar jawab dalam proses memasukkan nilai. Hal ini
tentu membuat seorang pengajar tidak mengetahui lembar jawab milik siapakah
yang sedang ia koreksi, ia tidak berkesempatan untuk meninggikan nilai
seseorang dari yang lain karena suatu alasan. Seorang guru tidak bisa memberi
bonus nilai karena seorang santri berasal dari daerah yang sama dengannya, atau
seorang santri adalah anggota klub olahraganya, dan lain sebagainya. Pilihannya
hanya ada satu : mengoreksi semua lembar jawaban secara objektif.
Meskipun Gontor sangat memperhatikan akhlak setiap santrinya, pada
ujian tulis, santri yang akhlaknya kurang, bahkan terhadap pengajar di kelasnya
sekalipun tetap mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan nilai tinggi sebagai
hasil dari belajarnya. Meskipun santri yang kurang baik akhlaknya tentu akan
mendapat konsekuensi lain.
Dalam ujian tulis di Gontor, semua santri mendapatkan hak dan
kesempatan yang sama untuk berkompetisi tanpa memandang siapa diri mereka dan
apa yang mereka miliki. Apakah tidak taat kepada guru, atau mereka yang
terkesan sangat berbakti kepada guru karena sering mengirimkan titipan camilan
dari orang tuanya, dan siapapun saja, semuanya mendapat kesempatan yang sama
untuk dinilai secara objektif, sesuai dengan hasil belajar mereka yang
dituangkan dalam lembar jawab ujian.
Comments
Post a Comment