Skip to main content

Sebelum berkenalan dengan kecopetan di Megapolitan

Ada kalanya gw punya acara di Jakarta yang berupa rentetan kunjungan ke beberapa kantor media masa untuk belajar dari ahli. Acara tersebut berlangsung selama beberapa hari, diantara hari-hari yang menyibukkan gw untuk pindah dari satu daerah di Jakarta ke daerah yang lain untuk mencapai kantor yang akan kami kunjungi, ada satu hari yang kosong. Maka tidak ada pilihan lain bagi tim gw untuk menghabiskan satu hari tersebut kecuali dengan : liburan! Mumpung di Jakarta.

Tapi karena diantara 10 orang tim gw itu nggak ada orang yang asli Jakarta, alhasil kami tidak tahu harus jalan kemana dan naik apa. Saat itu pun kami masih terlalu primitif untuk mengetahui tempat jalan asik dengan aplikasi gawai pintar. Akhirnya kami hanya mengandalkan pengetahuan di masa lampau, yakni mengandalkan ingatan seorang teman yang pernah jalan ke Kota Tua.

Sebelumnya gw hanya kenal kota tua dari acara di tivi-tivi, dan kesan saat pertama kali bener-bener dating di Kota Tua adalah : daerah ini memang bener-bener tua! Terbukti dengan bangunan berarsitektur eropa yang masih berdiri kokoh dan sengaja dijaga untuk dijadikan objek wisata dan sarana untuk mengabadikan sejarah.

Sayangnya hari ketika kami datang ke Kota Tua itu adalah musim liburan sekolah. Museum Fatahillah yang sebenarnya jadi tujuan kami datang ke Kota Tua itu penuh sesak oleh turis. Untuk masuk saja harus mengantri panjang. Alhasil kami hanya menikmati kota tua di Taman Fatahillah yang luas dan ramai itu.

Apa yang kami lakukan di Taman Fatahillah?

Berdiri dan terkagum-kagum pada manusia-manusia yang mengecat dirinya dan berpose layaknya patung.

Gw lagi mengamati seorang patung ketika seseorang yang tidak gw kenal mendekat tanpa gw sadari, dan tanpa permisi, berbisik ke telinga kanan gw,

“Mas mau beli iPhone 5?” bisiknya pelan, tapi nadanya serius. Jaman itu memang iPhone 5 masih baru-barunya dan banyak anak muda yang pengen beli, tapi kesandung harga yang mahal.

Penampakan orang itu sama sekali tidak mencurigakan, berkaos hitam dengan topi, celana jeans, dan bertangan kosong. Hampir tidak ada bedanya dengan pengunjung-pengunjung lain.

Mata kami saling tatap dalam diam untuk beberapa detik. Dalam menghadapi kasus seperti ini, gw punya prinsip untuk selalu menghindari hal-hal yang nggak pasti, meragukan, dan mencurigakan.

“Murah, mas,” lanjutnya dengan menaikkan tingkat meyakinkan pada raut wajahnya.

“ngg.. nggak mas, makasih,” tolak gw secara halus. Dan belum sempat gw merekam detail wajah orang tersebut, dia sudah hilang di tengah keramaian.

Saat kembali bergabung dengan teman-teman yang lain, gw menceritakan apa yang barusan gw alami, dan ternyata bukan Cuma gw yang menerima bisikan dari orang tidak dikenal tersebut. Dua tiga orang lain juga dapat bisikan penawaran iPhone tersebut. Bukan hanya iPhone, tapi juga Blackberry yang juga masih booming saat itu.

Dari opini temen gw yang kelihatan sok tahu, langkah kami untuk menolak tawaran tersebut memang sangat tepat sekali. Karena biasanya barang yang mereka jual itu adalah HASIL COPETAN! Maka bahaya untuk memilikinya walaupun murah. Apalagi iPhone yang jika hilang bisa di track lokasinya dengan iCloud!

Mendengar pernyataan bahwa barang-barang tersebut adalah hasil copetan justru membuat gw sedikit merasa menyesal sudah terlalu buru-buru untuk menolak tawaran tersebut. Seharusnya gw bilang iya dulu, lihat barangnya dulu, Tanya harganya dulu, telusuri dulu, baru tolak. Insting wartawan yang memang lagi kami latih di Jakarta itu main. Tapi terlambat. Gw berharap untuk didatengin lagi sama abang-abang yang menawarkan barang elektronik tersebut dengan berpisah dari grup, dan diam seolah sedang memperhatikan sesuatu. tapi kesempatan tidak datang dua kali.

Setelah Kota tua itu, di daerah lain yang gw lewati, baik itu ketika sedang dalam perjalanan dalam kendaraan umum, atau sedang menunggu metro mini, gw mulai suka memperhatikan barang-barang yang dijual tidak di tempat selayaknya berjualan. Contoh : orang berjualan handphone seperti jualan minuman ringan, yaitu di trotoar, dengan papan kayu dan handphone yang dijual ditempat pada papan tersebut dengan karet. Handphonenya dijual batangan. Entahlah darimana asal handphone-handphone tersebut.

Postingan ini akan menjadi pembuka cerita kecopetan gw di Jakarta.


Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...