Skip to main content

Satu Jurusan Bisa Jadi Beda Jalurnya : Kisah Sedih Salah Naik Bus

Ibarat pepatah sekali mendayung dua pulau terlampaui, dalam satu perjalanan pulang itu, saya mendapat dua pelajaran penting tentang dunia bus.

Kejadiannya pada akhir tahun 2015, waktu itu saya masih kelas 5 KMI, yang sedang menghabiskan liburan pertengahan tahun dengan durasi 10 hari. Karena itu adalah liburan terakhir sebelum saya harus bermukim di pondok sampai lulus, saya memutuskan untuk membuat liburan itu lain. Dari 10 hari itu, saya menghabiskan lima hari pertama di Pulau Lombok, dan lima hari sisanya di Boyolali.

Berdasarkan pertimbangan harga tiket yang lebih murah, saya pulang dengan pesawat yang mendarat di Bandara Juanda Surabaya, yang harga tiketnya Rp 400 ribu lebih murah dibandingkan dengan pesawat yang mendarat di Jogjakarta.

Konsekuensinya, saya harus melakukan perjalanan darat dari Surabaya menuju Boyolali untuk sampai ke rumah. Seharusnya perjalanan Surabaya ke Boyolali itu menjadi perjalanan yang mudah dibawah arahan dan petunjuk ayah saya. Pasalnya, beliau selalu melakukan perjalanan dengan rute yang sama dua kali dalam sepekan. Tapi semua itu berubah menjadi runyam karena kesoktahuan saya yang mendatangkan bencana.

Pesawat saya mengalami penundaan penerbangan hingga dua jam karena cuaca buruk. Seharusnya saya mendarat di Surabaya pukul tiga sore, namun karena penundaan tersebut, saya baru sampai di Juanda pukul lima sore. Berhubung belum sempat makan siang, saya menyempatkan diri untuk mampir di restoran cepat saji di dalam komplek bandara tersebut.


Sesuai arahan, saya harus melanjutkan perjalanan menuju terminal bungur asih dengan bus Damri dengan tiket seharga Rp 25 ribu. Suasana terminal ibukota Jawa Timur tersebut benar-benar seperti apa yang digambarkan oleh ayah saya. Begitu turun dari bus Damri, ada banyak orang—yang entah mereka itu kondektur atau siapa—menyambut kami yang datang dari bandara menanyakan kemana tujuan perjalanan kami.

 Sempat dibujuk dan dipaksa-paksa, saya akhirnya bisa bertahan sampai peron bus tujuan luar kota. Jika saya mengikuti arahan, seharusnya saya menumpang bus Eka dengan tujuan semarang. Karena tergesa-gesa dan ingin segera naik bus agar cepat sampai rumah, yang terngiang-ngiang di kepala saya waktu itu hanyalah semarang, semarang, dan semarang.

Ada seorang kondektur menghampiri saya, “Semarang Mas!” katanya dengan tatap mata penuh keyakinan. Saya sempat diam beberapa detik, berusaha mencerna baik-baik gelombang suara yang dikirimkan oleh mulut kondektur tersebut ke telinga saya. Ya, semarang, kata saya dalam hati. Saya pun mengangguk-angguk setuju, dan orang itu mengarahkan saya untuk menuju sebuah bus berwarna merah yang siap untuk berangkat. Nama bus itu adalah “Indonesia”, saya tidak pernah tahu ada bus dengan nama tersebut.

Saya bersyukur sekali mendapatkan bus dengan seat yang nyaman dan ber-AC dingin, saya segera duduk dan melaksanakan shalat maghrib di atas bus.

Saya baru menyadari bahwa saya berada dalam sebuah kesalahan besar ketika kondektur mulai menariki ongkos perjalanan. Saya mendengar para penumpang menyebut kota-kota yang terasa asing dalam perjalanan yang seharusnya saya lakukan.

Gresik..
Lamongan..
Rembang..
Kudus..

Hingga sang kondektur sampai di seat saya dan bertanya,

“Turun di mas?”

“Boyolali,” jawab saya ragu.

Raut sang kondektur seketika berubah, seakan dia mendengar suatu hal yang tidak wajar. Dan ternyata Boyolali memang sebuah hal yang tidak wajar dalam bus arah semarang via pantura ini.

“Mas, nggak lewat Boyolali, ini lewat jalur utara.”

Saya terdiam untuk beberapa saat, berusaha memikirkan apa yang harus saya lakukan. Turun di sini tidak mungkin, karena posisi bus sedang berada di jalan tol. Dan jika bisa turun pun, saya harus memikirkan lagi bagaimana caranya untuk bisa kembali ke terminal.

Akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti bus sampai semarang, baru kemudian mencari bus arah Surakarta. Toh perjalanan dari Semarang menuju Surakarta tidak begitu lama, ‘hanya’ 2 jam. Dengan kata lain, jika mengikuti rute yang benar, seharusnya saya bisa menghemat durasi perjalanan 4-5 jam.

Akibat kesalahan tersebut, walaupun sudah membesarkan hati dan menenangkan diri, saya tetap merasa mood saya berantakan. Akibatnya, perut saya tidak enak. Dalam kupon makan yang merupakan bagian dari ongkos perjalanan, saya hanya bisa memasukkan beberapa sendok kuah soto yang tawar itu ke mulut, dan menyeruput segelas teh kurang manis yang justru semakin memperburuk keadaan perut saya. Karena sudah tidak bisa ditahan dan bus dalam keadaan mengebut di jalan tol, akhirnya saya harus bisa beradu ketangkasan untuk buang hajat di toilet bus.

Tragedi dalam perjalanan pulang itu belum selesai.

Bus saya akhirnya sampai di Semarang pukul satu dinihari. Karena kondisi minim cahaya dan dalam keadaan mengantuk sehabis tidur, saya tidak tahu dimana bus tersebut berhenti. Apakah di terminal, atau di tempat yang lain. Satu-satunya hal yang saya sadari saat itu adalah, bahwa di seberang jalan, ada sebuah bus yang sudah siap berangkat. Seseorang mengatakan bahwa bus tersebut adalah bus kea rah Surabaya via Surakarta.

Saya senang karena tidak harus menunggu lama untuk bisa mendapatkan bus pulang.

Ketika hendak naik dari pintu depan bus, seseorang memanggil saya agar naik dari pintu belakang saja. Saya tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang itu karena kondisi minim cahaya. Yang jelas, orang itu meminta saya untuk membayar ongkos perjalanan sebelum saya naik ke atas bus.

“Empat puluh delapan ribu mas,” katanya tanpa saya bertanya. Seharusnya saya cukup pintar mengetahui bahwa harga tiket bus Solo-Semarang saja hanya Rp 30 ribu, mana mungkin tiket sampai Boyolali yang hanya setengah perjalanannya bisa lebih mahal.

Namun insting curiga saya ketika itu telah tertutupi oleh rasa bahagia karena akhirnya bisa mendapatkan bus yang akan membawa saya pulang.

Saya mengaduk-aduk tas kecil dan dompet untuk tidak menemukan uang pecahan kecil sama sekali. Terpaksa saya membayar ‘tagihan’ tersebut dengan pecahan seratus ribuan. Ketika selembar uang dengan wajah proklamator itu saya serahkan, entah bagaimana bisa namun seperti dibalik, wajah bung karno dan bung hatta berubah menjadi pangeran antasari.

“Mas ini Cuma 2000 perak,” katanya membodohi saya, dan saya memang bodoh sekali saat itu.

Kenapa harus 2000 yang ia jadikan kambing hitam? Mungkin karena seharusnya skenario penipuan tersebut adalah saya membayar dengan pecahan 50 ribu, kemudian ia memberikan kembalian 2000 rupiah sebelum kabur. Tapi karena saya membayar dengan pecahan 100 ribu, insting menipunya pun bermain, sekalian saja dibohongi.

Saya pun mengulangi hal yang sama: membayar dengan pecahan Rp 100 ribu,

Dan kondektur jadi-jadian itu juga mengulangi hal yang sama: merubah wajah bung karno dan hatta menjadi Pangen Antasari, seraya mengatakan bahwa saya telah membayar dengan uang yang salah.

Saya memberikan kepadanya 3 lembar uang seratus ribu sebelum mempersilakan saya naik ke atas bus. Saya telah mengeluarkan Rp 300 ribu untuk perjalanan seharga Rp 20 ribu.

Ketika duduk di atas bus, saya baru saja menyadari bahwa saya telah menjadi korban penipuan, sementara penipu tersebut telah jauh pergi ditelan kegelapan malam semarang. Saya menyumpah-seraphai kebodohan saya tersebut ketika itu.

Akhirnya saya sampai di Boyolali pukul 3 dini hari, orang yang membukakan pintu rumah saat itu adalah ibu saya, melihat saya yang datang, ibu reflek memeluk saya, seakan kejadian salah jurusan bus tersebut adalah suatu hal yang sangat berbahaya, tanpa ibu tahu bahwa ada hal yang lebih harus dikasihani daripada salah jurusan: kena tipu!


Pesan Moral :  Pertama, ketika hendak naik bus, perhatikan baik-baik jalur mana yang akan dilewati bus tersebut, karena bisa jadi beberapa bus memiliki tujuan akhir yang sama, namun melewati jalur yang berbeda-beda. Kedua, jika tidak membeli tiket di agen resmi, maka bayarlah tiket bus kepada kondektur ketika anda sudah berada di atas bus.

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...