Definisi bahagia bagi saya sangatlah sederhana; bepergian jauh dengan bis berpendingin udara selama berjam-jam, sambil mendengarkan lagu kesukaan dengan earphone dan melihat berita terkini di media sosial melalui perangkat telpon genggam pintar. Saya sangat suka dengan suasana seperti itu. Melihat keramaian di jalan raya malam berpenerangan lampu-lampu kuning dari balik kaca bus.
Momen seperti itu, saya rasakan ketika saya menghabiskan awal liburan panjang di bulan Ramadhan 1436H lalu. Ketika itu, saya bersama teman-teman kru klub jurnalistik di sekolah merencanakan sebuah perjalanan ke Jakarta untuk berkunjung ke kantor-kantor media massa nasional, baik cetak, elektronik, ataupun online.
Saat itu kami duduk di kelas X SMA, ketika naik kelas usai liburan panjang di bulan Ramadhan itu, kami akan menjadi pengurus klub jurnalistik tersebut. Maka tujuan kami mengadakan perjalanan tersebut adalah untuk menimba ilmu agar nanti kami memiliki ‘sesuatu’ untuk dibagikan kepada anggota klub kami.
Bahagia sekali ketika itu saya berangkat dari Boyolali menuju Jakarta ditemani OPPO Neo yang baru saja keluar di pasaran saat itu. Dengan ponsel pintar itu, saya benar-benar merasakan bahwa kemajuan teknologi dapat memudahkan kita menjalani hidup, dan bisa menjadi perantara untuk mendatangkan kebahagiaan batin.
Kecuali memudahkan kami menemukan rute perjalanan dari tempat singgah menuju kantor-kantor berita yang kami hendak kunjungi, ponsel tersebut juga sangat menunjang kegiatan kami dengan kemampuannya merekam suara yang hasilnya jernih, dan mengambil gambar dengan resolusi tinggi. Saya benar-benar merasakan bahwa OPPO Neo itu adalah salah satu hasil karya tangan manusia paling luar biasa.
Suatu hari, jadwal kunjungan kami adalah ke kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Kwitang, Senen, Jakarta Pusat. Kami berkunjung ke kantor AJI pada siang hari. Selama di kantor AJI, saya merekam sesi belajar kami bersama perwakilan wartawan dari AJI yang hampir 2 jam itu dengan Neo. Bahkan sebelum pamit, kami juga berpose mengambil gambar.
Saya benar-benar tidak memiliki firasat bahwa suatu hal buruk akan terjadi hari itu.
Selepas shalat ashar, kami pulang menuju tempat singgah di Jakarta Selatan dengan Trans Jakarta dari halte Kwitang. Perjalanan pulang kami itu bersamaan dengan jam selesainya kantor-kantor di Jakarta, alhasil, bus yang kami tumpangi penuh sesak dengan pekerja kantoran.
Dalam kondisi ramai seperti itu, kami sekelompok lupa berprinsip untuk saling tidak menjauh dan saling mengawasi satu sama lain. Pertama agar tidak ada yang hilang atau ketinggalan, kedua agar barang yang kami bawa aman.
Selama perjalanan di Jakarta itu, saya selalu membawa tas kecil berbahan jeans yang menggantung di pundak saya. Di dalam tas kecil itu, saya menyimpan buku tulis, handycam, dompet, dan ponsel. Melihat muka-muka lelah manusia di sekitar saya ketika itu, saya tidak memiliki rasa curiga sama sekali. Dan itu juga berarti bahwa saya telah kehilangan rasa untuk selalu berwaspada.
Saya berdiri di tengah-tengah bus dalam keadaan saling berhimpitan dengan penumpang lain. Ketika bus melewati bundaran Hotel Indonesia, saya sempat mengeluarkan ponsel dari dalam tas untuk sekedar memeriksa pemberitahuan terbaru dari media sosial. Berusaha untuk menghemat pemakaian baterai, saya meminimalisir pengguaan ponsel dan memasukannya kembali ke dalam tas. Mungkin saya tidak sadar bahwa ketika itu bisa jadi ada sepasang mata yang telah mengamati saya.
Begitu bundaran HI sudah lewat, entah dengan motivasi apa, saya ingin kembali mengecek pemberitahuan media sosial di ponsel. Karena sudah hafal di bagian mana saya biasa meletakkan ponsel di dalam tas, saya hanya perlu membuka resleting dan memasukkan tangan saya tanpa perlu melihat. Tapi saya tidak menemukan ponsel yang hendak saya ambil. Kali pertama tidak menemukan benda itu, saya masih berbaik sangka. Mungkin ponsel itu terselip di antara benda-benda lain di tas kecil saya. Saya mencoba membukanya dan memilah setiap benda. Satu-persatu. Dalam keadaan bus tengah berjalan dan saya berada di tengah keramaian yang saling berdesakan itu. Namun tetap tidak ada.
Ketika itu saya menyadari bahwa suatu hal buruk mungkin saja telah terjadi pada saya; kecopetan. Meskipun saya masih mencoba menyisakan sedikit ruang baik sangka, yakni dengan berharap bahwa ponsel saya terselip di bagian paling bawah tas kecil itu. Walaupun pendingin udara di dalam bus menyala, saya merasa tubuh saya mulai kepanasan, justru dengan keringat dingin yang mulai mengalir dari pori-pori setiap jengkal kulit tubuh saya. Jika benar saya ini kecopetan, maka copet itu masih ada di dalam bus ini, di antara penumpang yang berdesakan karena bus memang belum berhenti di halte selanjutnya sejak saya naik. Namun saya tidak tahu harus melakukan apa. Apakah saya harus berterika kecopetan? Atau saya harus menyampaikan perihal ini kepada petugas keamanan di dalam bus, jika ya apakah ada?
Hal pertama yang saya lakukan adalah menyampaikan keresahan saya itu pada teman saya dengan bahasa arab, agar orang lain tidak tahu. Mereka berusaha meyakinkan saya bahwa saya hanya telah salah menaruhnya di dalam tas. Sekali lagi saya berbaik sangka karena handycam masih ada di dalam tas.
Ketika turun dari TransJakarta, saya mengeluarkan semua isi tas kecil saya itu, dan ternyata; saya kecopetan! Sulit sekali mendeskripsikan apa yang saya rasakan saat itu. Marah dan kesal, tapi bagaimana saya melampiaskannya? Rasanya seperti ingin menangis dan berteriak kencang-kencang. Tapi saya tahu itu tidak akan membuat ponsel saya kembali. Membayangkan bagaimana saya akan menghabiskan sisa beberapa hari perjalanan di Jakarta tanpa ponsel itu sangatlah mengerikan. Di ponsel itu ada peta, nomor kontak kantor-kantor yang akan kami kunjungi, foto-foto dokumentasi beberapa hari terakhir yang cukup banyak, dan rekaman presentasi setiap kunjungan.
Yang membuat perasaan saya semakin tidak karuan adalah kenyataan bahwa usia ponsel itu belum genap satu minggu, dan aslinya bukan dibeli untuk saya. Saya hanya dipinjami saja.
***
Konsulat adalah organisasi pelajar yang berasal dari daerah yang sama. Karena saya berasal dari Boyolali, maka secara otomatis saya tergabung di Konsulat Surakarta-Jogjakarta. Sebuah tradisi yang sudah berjalan selama bertahun-tahun konsulat kami adalah mengadakan pentas seni pada awal liburan panjang akhir tahun. Tempatnya berpindah-pindah setiap tahun. Biasanya, para orang tua kami menjemput di tempat acara.
Pada acara tahun itu, saya berasa sedikit aneh. Saya tidak menemukan orang tua saya datang hingga acara hamper selesai. Biasanya sebelum acara dimulai pun, minimal saya sudah melihat ibu saya datang. Di sela-sela acara, berulang kali saya mengelilingi tempat mobil-mobil para tamu diparkirkan. Sengaja mengecek apakah mobil keluarga kami sudah datang atau belum. Dan memang belum.
Baru ketika acara selesai, setelah saya mengemasi barang, saya bertemu dengan bapak saya yang sudah menunggu di area parkiran.
“Sendirian, bah?” Tanya saya.
“Ya.”
“Umi mana?”
Tak ada jawaban, dan saya berfirasat buruk. Insting paranoid saya suka menari-nari di kepala pada suasana membingungkan seperti ini. Saya terbiasa menahan diri untuk tidak mengulangi pertanyaan. Mungkin orang lain lebih tahu mengapa ia tidak menjawab sebuah pertanyaan. Bapak hanya memberikan ponsel yang katanya baru saja dibelikan untuk kakak saya yang beberapa belas hari lagi akan lulus dari pondok. Untuk sementara waktu, ponsel itu saya pakai dulu saja untuk ke Jakarta.
Setelah beberapa kilometer mobil berjalan, beliau baru memberi tahu bahwa ibu saya sedang berada di rumah sakit. Sudah beberapa hari ini dirawat inap di Rumah Sakit Dr. Oen Sawit. Beliau baru saja menjalani operasi karena telah menjadi korban tabrak lari oleh seseorang yang tidak dikenal bermotor vixion. Peristiwa tersebut terjadi ketika ibu saya hendak menyebrangkan beberapa ibu-ibu lain dalam rombongan yang hendak menunaikan shalat maghrib berjamaah.
Peristiwanya terjadi sangat cepat. Ibu saya terjatuh di atas aspal. Beberapa orang yang melintas berusaha mengejar pelaku. Tapi manusia tak bertanggung jawab itu terlalu cepat. Hilang dimakan lalu lintas Solo Baru yang ramai.
Saya kalut.
Berusaha menahan air mata agar tidak menetes. Kenapa saya baru diberi tahu.
Berarti peristiwa tersebut terjadi ketika saya sedang menjalani Ujian Akhir Semester di Pondok. Berita ini pasti sengaja dirahasiakan dari saya.
Kami berdua pulang ke rumah sekedar mengambil beberapa helai baju untuk ganti, kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke rumah sakit DR. Oen. Di sana, melihat ibu saya terbaring di atas ranjang rumah sakit, saya tidak bisa lagi menahan air mata untuk tidak menetes. Saya menangis sejadi-jadinya, sambil memeluk ibu saya yang terbaring di atas ranjang.
Berulang kali beliau mengatakan bahwa beliau baik-baik saja. Pernyataan yang semakin dikatanan semakin membuat air mata saya bertambah deras mengalir.
Yang membuat saya lebih kalut adalah fakta bahwa peristiwa tabrak lari tersebut terjadi tepat setelah ibu saya membeli ponsel yang saya pegang saat itu.
Dan saya, telah memberikannya secara sukarela kepada pencopet Jakarta sebelum usianya genap sepekan
Anak macam apa saya ini.
….
Sejak saat itu, saya seperti memiliki trauma berkepanjangan. Dimana setiap kali saya naik kendaraan umum, saya selalu merasa tidak aman, seperti selalu ada yang tengah mengintai saya, dan menunggu saat dimana saya lelah, untuk kemudian mereka menjarah barang-barang saya. Trauma seperti ini mengerikan karena saya memiliki banyak tuntutan untuk bepergian dengan bus dan kereta.
Saran saya, ketika berada dalam keramaian semacam di dalam Trans Jakarta yang sedang padat, pastikan barang berharga termasuk dompet dan ponsel, berada dalam pengawasan anda. Mungkin lebih baik anda memakainya untuk bermedia sosial atau sekedar mendengarkan musik, walaupun seolah mencolok dan mengundang perhatian copet, tapi bukankah itu lebih baik daripada anda menaruhnya di dalam tas lalu hilang tanpa anda tahu siapa yang telah mengambilnya?
Momen seperti itu, saya rasakan ketika saya menghabiskan awal liburan panjang di bulan Ramadhan 1436H lalu. Ketika itu, saya bersama teman-teman kru klub jurnalistik di sekolah merencanakan sebuah perjalanan ke Jakarta untuk berkunjung ke kantor-kantor media massa nasional, baik cetak, elektronik, ataupun online.
Saat itu kami duduk di kelas X SMA, ketika naik kelas usai liburan panjang di bulan Ramadhan itu, kami akan menjadi pengurus klub jurnalistik tersebut. Maka tujuan kami mengadakan perjalanan tersebut adalah untuk menimba ilmu agar nanti kami memiliki ‘sesuatu’ untuk dibagikan kepada anggota klub kami.
![]() |
| Yang sedang berselfie : Iqbal Aziz. Salah satu foto yang terselamatkannya sangat saya syukuri! |
Bahagia sekali ketika itu saya berangkat dari Boyolali menuju Jakarta ditemani OPPO Neo yang baru saja keluar di pasaran saat itu. Dengan ponsel pintar itu, saya benar-benar merasakan bahwa kemajuan teknologi dapat memudahkan kita menjalani hidup, dan bisa menjadi perantara untuk mendatangkan kebahagiaan batin.
Kecuali memudahkan kami menemukan rute perjalanan dari tempat singgah menuju kantor-kantor berita yang kami hendak kunjungi, ponsel tersebut juga sangat menunjang kegiatan kami dengan kemampuannya merekam suara yang hasilnya jernih, dan mengambil gambar dengan resolusi tinggi. Saya benar-benar merasakan bahwa OPPO Neo itu adalah salah satu hasil karya tangan manusia paling luar biasa.
Suatu hari, jadwal kunjungan kami adalah ke kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Kwitang, Senen, Jakarta Pusat. Kami berkunjung ke kantor AJI pada siang hari. Selama di kantor AJI, saya merekam sesi belajar kami bersama perwakilan wartawan dari AJI yang hampir 2 jam itu dengan Neo. Bahkan sebelum pamit, kami juga berpose mengambil gambar.
Saya benar-benar tidak memiliki firasat bahwa suatu hal buruk akan terjadi hari itu.
Selepas shalat ashar, kami pulang menuju tempat singgah di Jakarta Selatan dengan Trans Jakarta dari halte Kwitang. Perjalanan pulang kami itu bersamaan dengan jam selesainya kantor-kantor di Jakarta, alhasil, bus yang kami tumpangi penuh sesak dengan pekerja kantoran.
Dalam kondisi ramai seperti itu, kami sekelompok lupa berprinsip untuk saling tidak menjauh dan saling mengawasi satu sama lain. Pertama agar tidak ada yang hilang atau ketinggalan, kedua agar barang yang kami bawa aman.
Selama perjalanan di Jakarta itu, saya selalu membawa tas kecil berbahan jeans yang menggantung di pundak saya. Di dalam tas kecil itu, saya menyimpan buku tulis, handycam, dompet, dan ponsel. Melihat muka-muka lelah manusia di sekitar saya ketika itu, saya tidak memiliki rasa curiga sama sekali. Dan itu juga berarti bahwa saya telah kehilangan rasa untuk selalu berwaspada.
Saya berdiri di tengah-tengah bus dalam keadaan saling berhimpitan dengan penumpang lain. Ketika bus melewati bundaran Hotel Indonesia, saya sempat mengeluarkan ponsel dari dalam tas untuk sekedar memeriksa pemberitahuan terbaru dari media sosial. Berusaha untuk menghemat pemakaian baterai, saya meminimalisir pengguaan ponsel dan memasukannya kembali ke dalam tas. Mungkin saya tidak sadar bahwa ketika itu bisa jadi ada sepasang mata yang telah mengamati saya.
Begitu bundaran HI sudah lewat, entah dengan motivasi apa, saya ingin kembali mengecek pemberitahuan media sosial di ponsel. Karena sudah hafal di bagian mana saya biasa meletakkan ponsel di dalam tas, saya hanya perlu membuka resleting dan memasukkan tangan saya tanpa perlu melihat. Tapi saya tidak menemukan ponsel yang hendak saya ambil. Kali pertama tidak menemukan benda itu, saya masih berbaik sangka. Mungkin ponsel itu terselip di antara benda-benda lain di tas kecil saya. Saya mencoba membukanya dan memilah setiap benda. Satu-persatu. Dalam keadaan bus tengah berjalan dan saya berada di tengah keramaian yang saling berdesakan itu. Namun tetap tidak ada.
Ketika itu saya menyadari bahwa suatu hal buruk mungkin saja telah terjadi pada saya; kecopetan. Meskipun saya masih mencoba menyisakan sedikit ruang baik sangka, yakni dengan berharap bahwa ponsel saya terselip di bagian paling bawah tas kecil itu. Walaupun pendingin udara di dalam bus menyala, saya merasa tubuh saya mulai kepanasan, justru dengan keringat dingin yang mulai mengalir dari pori-pori setiap jengkal kulit tubuh saya. Jika benar saya ini kecopetan, maka copet itu masih ada di dalam bus ini, di antara penumpang yang berdesakan karena bus memang belum berhenti di halte selanjutnya sejak saya naik. Namun saya tidak tahu harus melakukan apa. Apakah saya harus berterika kecopetan? Atau saya harus menyampaikan perihal ini kepada petugas keamanan di dalam bus, jika ya apakah ada?
Hal pertama yang saya lakukan adalah menyampaikan keresahan saya itu pada teman saya dengan bahasa arab, agar orang lain tidak tahu. Mereka berusaha meyakinkan saya bahwa saya hanya telah salah menaruhnya di dalam tas. Sekali lagi saya berbaik sangka karena handycam masih ada di dalam tas.
Ketika turun dari TransJakarta, saya mengeluarkan semua isi tas kecil saya itu, dan ternyata; saya kecopetan! Sulit sekali mendeskripsikan apa yang saya rasakan saat itu. Marah dan kesal, tapi bagaimana saya melampiaskannya? Rasanya seperti ingin menangis dan berteriak kencang-kencang. Tapi saya tahu itu tidak akan membuat ponsel saya kembali. Membayangkan bagaimana saya akan menghabiskan sisa beberapa hari perjalanan di Jakarta tanpa ponsel itu sangatlah mengerikan. Di ponsel itu ada peta, nomor kontak kantor-kantor yang akan kami kunjungi, foto-foto dokumentasi beberapa hari terakhir yang cukup banyak, dan rekaman presentasi setiap kunjungan.
Yang membuat perasaan saya semakin tidak karuan adalah kenyataan bahwa usia ponsel itu belum genap satu minggu, dan aslinya bukan dibeli untuk saya. Saya hanya dipinjami saja.
***
Konsulat adalah organisasi pelajar yang berasal dari daerah yang sama. Karena saya berasal dari Boyolali, maka secara otomatis saya tergabung di Konsulat Surakarta-Jogjakarta. Sebuah tradisi yang sudah berjalan selama bertahun-tahun konsulat kami adalah mengadakan pentas seni pada awal liburan panjang akhir tahun. Tempatnya berpindah-pindah setiap tahun. Biasanya, para orang tua kami menjemput di tempat acara.
Pada acara tahun itu, saya berasa sedikit aneh. Saya tidak menemukan orang tua saya datang hingga acara hamper selesai. Biasanya sebelum acara dimulai pun, minimal saya sudah melihat ibu saya datang. Di sela-sela acara, berulang kali saya mengelilingi tempat mobil-mobil para tamu diparkirkan. Sengaja mengecek apakah mobil keluarga kami sudah datang atau belum. Dan memang belum.
Baru ketika acara selesai, setelah saya mengemasi barang, saya bertemu dengan bapak saya yang sudah menunggu di area parkiran.
“Sendirian, bah?” Tanya saya.
“Ya.”
“Umi mana?”
Tak ada jawaban, dan saya berfirasat buruk. Insting paranoid saya suka menari-nari di kepala pada suasana membingungkan seperti ini. Saya terbiasa menahan diri untuk tidak mengulangi pertanyaan. Mungkin orang lain lebih tahu mengapa ia tidak menjawab sebuah pertanyaan. Bapak hanya memberikan ponsel yang katanya baru saja dibelikan untuk kakak saya yang beberapa belas hari lagi akan lulus dari pondok. Untuk sementara waktu, ponsel itu saya pakai dulu saja untuk ke Jakarta.
Setelah beberapa kilometer mobil berjalan, beliau baru memberi tahu bahwa ibu saya sedang berada di rumah sakit. Sudah beberapa hari ini dirawat inap di Rumah Sakit Dr. Oen Sawit. Beliau baru saja menjalani operasi karena telah menjadi korban tabrak lari oleh seseorang yang tidak dikenal bermotor vixion. Peristiwa tersebut terjadi ketika ibu saya hendak menyebrangkan beberapa ibu-ibu lain dalam rombongan yang hendak menunaikan shalat maghrib berjamaah.
Peristiwanya terjadi sangat cepat. Ibu saya terjatuh di atas aspal. Beberapa orang yang melintas berusaha mengejar pelaku. Tapi manusia tak bertanggung jawab itu terlalu cepat. Hilang dimakan lalu lintas Solo Baru yang ramai.
Saya kalut.
Berusaha menahan air mata agar tidak menetes. Kenapa saya baru diberi tahu.
Berarti peristiwa tersebut terjadi ketika saya sedang menjalani Ujian Akhir Semester di Pondok. Berita ini pasti sengaja dirahasiakan dari saya.
Kami berdua pulang ke rumah sekedar mengambil beberapa helai baju untuk ganti, kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke rumah sakit DR. Oen. Di sana, melihat ibu saya terbaring di atas ranjang rumah sakit, saya tidak bisa lagi menahan air mata untuk tidak menetes. Saya menangis sejadi-jadinya, sambil memeluk ibu saya yang terbaring di atas ranjang.
Berulang kali beliau mengatakan bahwa beliau baik-baik saja. Pernyataan yang semakin dikatanan semakin membuat air mata saya bertambah deras mengalir.
Yang membuat saya lebih kalut adalah fakta bahwa peristiwa tabrak lari tersebut terjadi tepat setelah ibu saya membeli ponsel yang saya pegang saat itu.
Dan saya, telah memberikannya secara sukarela kepada pencopet Jakarta sebelum usianya genap sepekan
Anak macam apa saya ini.
….
Sejak saat itu, saya seperti memiliki trauma berkepanjangan. Dimana setiap kali saya naik kendaraan umum, saya selalu merasa tidak aman, seperti selalu ada yang tengah mengintai saya, dan menunggu saat dimana saya lelah, untuk kemudian mereka menjarah barang-barang saya. Trauma seperti ini mengerikan karena saya memiliki banyak tuntutan untuk bepergian dengan bus dan kereta.
Saran saya, ketika berada dalam keramaian semacam di dalam Trans Jakarta yang sedang padat, pastikan barang berharga termasuk dompet dan ponsel, berada dalam pengawasan anda. Mungkin lebih baik anda memakainya untuk bermedia sosial atau sekedar mendengarkan musik, walaupun seolah mencolok dan mengundang perhatian copet, tapi bukankah itu lebih baik daripada anda menaruhnya di dalam tas lalu hilang tanpa anda tahu siapa yang telah mengambilnya?

Comments
Post a Comment