Skip to main content

Hidup yang Mie Instant

Saya adalah salah satu penggemar mie instant. Memang tidak mengonsumsinya secara berlebihan. Tapi saya pernah menjadikan mie instan sebagai solusi alternatif mengisi perut ketika tidak ada makanan lain saat sarapan, sahur, dan makan malam.

Ada juga kalanya ketika saya menganggapnya sebagai camilan untuk mengganjal perut kosong tetapi jam makan belum datang.

Suasana yang paling bisa membuat saya menikmati mie instant adalah ketika hujan turun deras. Yakni dengan menambahkan beberapa potong cabe rawit pada mie kuah. Semakin kecil dan semakin muda warna hijau cabainya, maka semakin nikmat pula sensasi pedas dan puas yang saya rasakan.

Ketika saya bersekolah di Gontor, ternyata saya menemukan fenomena fanatisme terhadap mie instant yang lebih gila. Setelah nasi ayam yang dijual di kantin-kantin, mie instant dan olahannya menjadi menu paling favorit yang disukai oleh mayoritas murid. Apalagi ketika ujian. Mie instant seolah menjadi teman yang selalu ada untuk menenangkan perut kosong yang terkadang menjadi sebuah masalah tersendiri dan bisa mengganggu konsentrasi belajar di malam hari.

Di Gontor, kemudian saya belajar bahwa ternyata mie instant juga menjadi sebuah alat yang sangat ampuh untuk mempererat ukhuwah dan silaturahim suatu kelompok. Ada suatu masa, ketika klub-klub olahraga berlomba menunjukkan kekompakannya dengan sahur bersama setiap Ahad dan Rabu malam. Di acara sabur bersama itu, menunya tidak lain adalah mie instant yang dimasak dalam porsi jumbo dengan ember. Karena kecuali murah, membuatnya pun juga mudah.

Selain rasa dan harga, kemudahan dalam proses pengolahannya itu tentu menjadi alasan paling kuat mengapa banyak orang menjadikannya alternatif ketika tidak ada makanan lain.

Saya sempat terkejut ketika membaca sebuah artikel yang membahas 20 bahanya memakan mie instant. Dalam artikel tersebut, hampir semua macam penyakit berbahaya dan mematikan disebutkan. Mulai dari kerusakan hati, gagal ginjal, darah tinggi, kencing manis, bahkan kanker pun disebut-sebut sebagai salah satu penyakit yang ditimbulkan oleh mie instant yang dikonsumsi secara berlebihan.

Jika artikel itu benar, maka betapa jahatnya mie instant bagi hidup kita. Ia bagai sosok musuh dalam selimut. Dincintai dan disayangi tapi memiliki maksud untuk menghabisi di belakang. Di balik kemudahannya, ternyata mie instant sangatlah berbahaya.

Sebenarnya logis saya untuk mempercayai fakta-fakta mengerikan tentang mie instant. Karena suatu makanan yang diproses dalam waktu 5 menit tentu tidak akan memberikan kualitas dan gizi yang sebanding dengan makanan yang diproses dengan waktu yang cukup lama. Di balik makanan yang lezat dan bergizi, tentu ada proses memasak yang panjang.

Ambillah nasi goreng sea food sebagai contoh yang paling sederhana dan disukai oleh banyak orang. Kita perlu mengiris bawang, menghaluskan ebi, menyiapkan wajan dan memanaskan minyak, mengorak-arik telur, mencampurkan berbagai bumbu, menumis nasi dengan seafood dan telur. Yang jelas, ada urutan proses yang harus dilalui demi hasil yang paling nikmat.

Bandingkan dengan mie instant yang bisa jadi tidak memerlukan kompor sama sekali. Rendam saja dengan air panas, tunggu lima menit, campurkan bumbu yang sudah siap sedia, dan mie instant pun siap santap.

Hampir segala hal yang bersifat instant berbahaya.

Dalam hidup, kemudian saya belajar bahwa ternyata kasus mudah tapi berbahaya itu bukan hanya terjadi pada mie instant saja. Bahkan dalam semua sudut pandang kehidupan, kita hampir selalu bisa menemukannya.

Di zaman yang dikatakan maju ini, manusia semakin suka pada hal-hal yang enteng melakukannya, tapi gede hasilnya atau gede duitnya. Kenyataan itulah yang lantas membuat banyak orang tidak berpikir panjang dan lebih memilih mengambil jalan pintas yang terkadang tidak mengantarkannya pada tujuan, tapi justru menyesatkannya jauh sekali.

Marilah kita melihat pada fenomena yang paling sering kita jumpai pada kehidupan sehari-hari.

Ketika saya masih duduk di kelas sebelas, dengan usia rata-rata 16 tahun ternyata sudah banyak teman saya yang memiliki surat izin mengemudi yang diterbitkan oleh kepolisian lalu lintas. Ada yang telah memilikinya sejak kelas sepuluh. Ada juga yang tidak hanya memiliki SIM C, tapi juga A dan B.

Bagaimana bisa remaja yang belum memenuhi syarat kecukupan umur mendapatkan izin mengemudi yang seharusnya baru bisa diperoleh setelah mereka berusia 17 tahun?

Ternyata mereka mendapatkannya dengan bantuan pihak-pihak tertentu. Ada yang harus tetap mengikuti prosedur, tapi tidak mempedulikan hasil ujian teori dan prakteknya, ada pula yang tinggal terima jadi. Asalkan nominalnya disepakati, hasil akhirnya bisa dipilih sendiri.

Hal itu tampak sederhana, tapi hal kecil itulah yang membuat ada banyak orang yang seharusnya belum layak berkendara berkeliaran di jalan-jalan. Dan akibat keterampilan yang keabsahannya direkayasa itu, terjadi kecelakaan yang sebenarnya bisa tidak perlu terjadi jika pengendaranya terampil dan tahu aturan berkendara.

Fenomena yang sama terjadi pada kasus jual beli ijazah dan fenomena joki pengerjaan tugas akhir.

Dalam suatu keadaan, ijazah diperlukan sebagai syarat untuk mendapatkan suatu posisi. Itu memang perlu untuk membuktikan bahwa seseorang memang telah memenuhi syarat kualifikasi. Tapi tidak berguna lagi ketika ijazah yang diajukan adalah ijazah palsu. Suatu posisi yang seharusnya diisi oleh seseorang dengan kemampuan akademis tertentu dan memiliki pengalaman cukup serta berakhlak mulia, justru diisi oleh orang yang mentalnya saja sudah rusak dengan melakukan tindak kebohongan. Gambarannya adalah ketika pesawat dikendarai oleh orang yang tidak memiliki pengetahuan dalam dunia penerbangan. Pesawatnya tentu tidak akan terbang. Jika terbangpun pasti membahayakan penumpangnya.

Kini juga marak kasus penggandaan harta. Dimana dengan menyerahkan sejumlah uang, seseorang dijanjikan akan mendapatkan uangnya kembali dalam jumlah berkali-kali lipat. Hasrat untuk mendapatkan hasil melimpah dengan usaha yang minimal telah membutakan akal sehat banyak orang. Padahal jika dipikir secara logis, hal itu tentu sangat tidak masuk akal.

Manusia terkadang memang lupa, bahwa tidak ada pencapaian yang didapatkan tanpa usaha. Proses adalah suatu ketentuan Tuhan yang harus dilalui untuk sampai ke suatu tujuan. Seringnya, nilai yang kita keluarkan dalam proses akan selalu berbanding lurus dengan hasil yang kita dapatkan. Semakin lelah kita mengusahakan suatu hal, maka semakin besar juga nilai yang kita dapatkan dari hasilnya. Hasil memang tidak selalu harus diukur dengan angka dan nominal uang, kita justru harus mengorientasikan hasil yang kita kejar dalam bentuk ridho dari Sang Maha Agung.

Dan ketika kita memberikan nilai nol pada suatu proses, sekalipun nol itu dihargai dengan milyaran rupiah, maka ketika menerima hasil, kita juga hanya akan mendapatkan sesuatu yang nilainya tidak lebih dari nol, bahkan bisa jadi minus.

Selamat berjuang dan tinggalkan yang instant-instant!


DESCLAIMER : Tulisan di atas bukanlah suatu artikel kesehatan yang membahas manfaat ataupun bahaya mengonsumsi mie instant. Sebagai penulis, saya menggunakan kacamata konsumen yang memiliki lidah, tangan, dan telinga. Saya mengonsumsi mie instant, saya merasakan kemudahan dalam pengolahannya, dan saya mendengar dari berbagai mulut bahwa mengonsumsi mie instant secara berlebihan dapat membahayakan kesehatan. Over all, saya percaya bahwa sebenarnya tidak ada makanan yang benar-benar instant. Di balik mie instant pun saya percaya bahwa ada proses memasak yang panjang di pabrik.

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...