Hari Ahad, 9 Juli 2017, hari
ketika hasil ujian masuk KMI diumumkan. Untuk pertama kalinya, anak-anak kecil
yang merasa, atau dianggap dirinya cukup jagoan untuk belajar di Gontor, harus
belajar banyak tentang kenyataan yang sering kali harus jauh dari apa yang
untuk kurun waktu panjang, telah diharap-harapkan.
Kebetulan, di hari Ahad saya
hanya memiliki satu jadwal mengajar materi matematika kelas 1 yang belum memiliki
murid, sehingga otomatis menjadi kosong, dan jadwal untuk mengecek keadaan
asrama anak baru, yang otomatis juga belum dihuni karena penghuninya sedang
mendengarkan nasib mereka dibacalan satu-persatu.
Sungguh, saya tidak kasihan sama
sekali dengan para calon pelajar itu. Fokus saya ketika keluar kamar pagi ini
bukan tertuju pada 2800-an calon murid yang sedang duduk di bawah terop, yang
dengan seksama, serius mendengarkan satu-persatu nomor ujian yang lulus
dibacakan. Sekalipun mereka harus berkipas-kipas dengan buku tulis untuk
menciptakan angin buatan agar tidak kepanasan. Meskipun mereka harus melipat
lengan baju dan membuka kopiah agar keringat tidak membasahi keduanya, dan
sekalipun mereka harus duduk diatas bangku kayu berdesak-desakan karena jumlah
calon pelajar tahun ini banyak sekali. Sungguh tidak. Mereka memang pantas
mendapatkan itu sebagai gambaran betapa susahnya kehidupan yang akan mereka
hadapi ketika sudah diterima menjadi santri Gontor nanti.
Tapi mata saya tidak betah
berlama-lama menyaksikan bagaimana para sosok yang cemas luar biasa pagi itu.
Ketika saya menyempatkan diri berkeliling di antara mereka, dari raut-raut
wajah yang saya lihat, saya bisa merasakan energi cinta yang luar biasa. Khusus
pagi itu, cinta mereka disajikan dalam bentuk rasa khawatir setengah mati.
Apakah para anak yang selama ini telah mereka usahakan kelayakan hidupnya
berhasil lulus menjadi santri gontor, atau tidak.
Saya paham betul bahwa pikiran
mereka pagi itu sesak sekali. Jika anaknya lulus, bahagia memang, senang
memang, tapi kemudian mereka harus kembali berpikir keras bagaimana caranya
agar anak mereka dapat menyelesaikan studi di Gontor dengan lancar. Secara finansial
ataupun dukungan moral. Apalagi jika tidak lulus, tentu mereka harus kembali
mencarikan sekolah yang tepat demi masa depan anak-anak mereka.
Mereka adalah para wali murid,
alias para orang tua yang menunggui anaknya. Mengantarkan dan mendukung buah
hatinya untuk mendapatkan pendidikan terbaik dari tempat terbaik pula.
Merekalah yang selama beberapa pekan terakhir, membuat pondok terasa lebih
ramai, dan lebih mengharukan. Sekali lagi sungguh, yang saya maksud dengan
mengharukan bukanlah karena mobil para orang tua itu, membuat para santri harus
kehilangan lapangan untuk bermain bola selama beberapa hari. Bukan juga karena
saya harus ekstra hati-hati ketika bersepeda ria karena jalanan di kawasan
pondok menjadi lebih sempit. Tapi karena saya tidak tahan menyaksikan drama
pahit kehidupan yang harus mereka mainkan, secara suka rela.
Hingga hari pengumuman kelulusan
ujian masuk KMI itu, mereka dalam keadaan yang berbeda-beda. Ada yang sengaja
datang untuk menyaksikan yudisium kelulusan itu, ada yang belum pulang sejak
libur hari raya, bahkan tidak sedikit pula yang telah tinggal di Gontor bersama
anaknya sejak bulan puasa.
Mereka yang harus menunggui
anaknya, tapi kehabisan ruang untuk beristirahat, bahkan setelah ruang kuliah
di Gedung Rabitah dialihfungsikan menjadi ruang penerimaan tamu. Jangankan Wisma
Darussalam, hotel Amaris yang ada di Ponorogo saja penuh ketika momen ujian
tulis calon pelajar bersamaan dengan pembukaan tahun ajaran baru. Mencari
tempat kosong yang lebih jauh, sungguh tidak mungkin. Hanya akan merepotkan
diri sendiri. Alhasil, para orang tua itu harus rela bermalam di teras-teras
gedung pondok, menggelar tikar, dan melindungi diri dari tusukan udara dingin malam
hari.
Namun itu belum seberapa, yang
lebih menyakitkan—namun tidak pernah diungkapkan—sebenarnya adalah ketika para
anak itu merajuk. Memberontak dan meminta agar niatan menyekolahkan dirinya di
pondok itu dibatalkan saja. Anak-anak yang masih polos itu mengangis di hadapan
orang tuanya, menyampaikan keluh kesah yang sebenarnya tidak penting. Menyuarakan
bahwa mereka tidak ingin jauh dari orang tua. Sementara di balik itu, mereka tidak
tahu bahwa sebenarnya para orang tua itulah yang lebih sedih, mereka jugalah
yang sebenarnya lebih tidak ingin berpisah dengan anak-anaknya. Tapi menyekolahkan
anak di Gontor itu adalah salah satu pilihan yang tepat untuk menyiapkan mereka
menghadapi masa depan.
Pemandangan seperti itu, yang
saya saksikan dengan mata kepala dan mata hati secara langsung selama
bertahun-tahun, membuat saya selalu tidak sampai hati, jika harus merepotkan
orang tua. Dan memaksa saya untuk segera bisa mandiri. Secara ekonomi maupun
kepribadian.
Kepada para wali murid yang
niatnya tulus untuk memberikan semua hal terbaik untuk anak-anaknya, saya
berharap semoga Allah sajalah memberikan balasan terbaik untuk semua usaha yang
telah dilakukan. Karena sungguh, jika hanya mengharap prestasi anak-anak, anda
akan kecewa. Tapi jika mengharap ridho dari Allah Swt, sesungguhnya dialah yang
Maha Adil lagi Bijaksana.
Sebagai Penghibur, baik untuk
yang tidak lulus ataupun lulus di kampus yang tidak diharapkan, saya sampaikan
bahwa ketika sesuatu tidak berjalan sebagaimana yang kita rencanakan,
sesungguhnya Allah sedang mempersiapkan kita untuk suatu hal yang lebih besar
dan penting.
Comments
Post a Comment