Sebuah
dentum lembut mirip ketukan terdengar pelan dan akrab dari alat komunikasi
purbaku. Suara itu kadang datang bersama datangnya bahagia, air mata, atau
terkadang hanya hampa yang ikut serta bersamanya.
Malam
ini ia datang lagi, entah apa yang saat ini kuharapkan dalam hadirnya pada
kesendirianku. Pelan-pelan ujung telunjukku menyentuhnya pelan agar terbuka. Ingin
tahu, jadi perasaan macam apa yang ikut datang kali ini. Dan rambut pendekku
hampir rontok berguguran di atas permadani membaca pesan itu setengah tidak
percaya.
Ibu
jari dan telunjuk tiba-tiba kompak mencubit daging berlebih di perut. Kalau benar
ini bukan mimpi atau sekedar halusinasi, berarti balasan itu resmi membuka
obrolan lintas ruang pertama kami dalam hampir setahun terakhir.
Sungguh
sulit untuk dipercaya. Setelah ribuan detik terlewati, dengan perasaan dianggap
seperti angin malam yang dingin, dan biarkan berlalu, akhirnya. Dia tahu bahwa
aku masih ada, dan organ tubuhku termasuk mulut dan hati masih berfungsi dengan
baik.
Potongan-potongan
kalimat pendek pembuka dan basa-basi pun terbang, melintasi langit yang
terbentang diantara lokasi kaki masing dari kami berpijak.
Satu
kali dua semester, hidup dalam kotak dinamika sekolah yang berat, bayangannya
lah yang jadi motivasi dan pengibur lara yang kurasa. Selama ratusan hari itu,
ku biarkan bayangnya hidup dalam kepalaku sendiri, penuh angan dan ilusi.
Ku
beri kesempatan ia untuk hidup dalam imajinasiku, dan kadang bertransformasi
menjadi tokoh fiksi yang tergores. Mungkin karena aku terlalu berlebihan menghidupkannya
sebagai pujaan hati tokoh utama. Hingga aku sadar, ternyata tokoh ‘dia’ dalam
imajinasiku adalah yang lebih aku suka. Bentuk nyata dari ‘dia’ terlalu sukar
untuk aku gapai dan terima.
Mungkin
ini resiko. Mungkin ini hukuman bagi orang yang tidak mau tahu dirinya sendiri.
Seketika
pusat dadaku dihujam rasa kecewa. Sesuatu yang selama ini ku harap akan mampu
menjadi penawar perih di hati, ternyata tidak mampu berbuat apa-apa. Aku kecewa.
Tapi tidak berhak untuk mengungkapkan amarahku. Karena ini adalah akibat dari
terlampau jauh menghidupkannya dalam angan, tanpa pernah memahaminya sebagai
kenyataan.
Sosok
itu pun kini mulai kehilangan sensainya. Dan aku mulai harus belajar, untuk
menjadi kuat, dan mampu merelakan.
Comments
Post a Comment