Sebagai Sang
Kausa Prima, yakni sebab dari segala sesuatu namun Ia sendiri tidak disebabkan
oleh suatu hal yang lain, Allah ta’ala selalu menghargai proses yang dijalani
oleh hambanya. Sebagai satu contoh, Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Ia
kehendaki, sebagaimana Ia menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya pula, namun
kehendak Allah tersebut tentu tidak pernah lepas dari perilaku para hamba itu
sendiri.
Kalau boleh
menganalogikan, bagi saya istilah ‘kehendak’ tersebut adalah semacam restu, dan
jalan dari Allah yang diberikan kepada manusia atas apa yang mereka minta.
Ketika kita menjalani suatu rangkaian proses yang membawa kita pada keimanan dan
ketaqwaan, maka Allah akan memberikan kehendak-Nya dengan menunjukkan jalan
mana lagi yang harus di tempuh, serta ke arah mana kita harus melangkah
kemudian, hingga kita terus maju menuju ridho Allah Swt. Kehendak itu juga bisa
jadi berupa anugerah rasa nikmat dalam hati kita ketika menjalani prosesnya,
sehingga seberapa beratpun proses itu, kita tetap mampu konsisten dengan
keimanan dan ketaqwaan.
Sebaliknya,
ketika seseorang menjalani rangkaian proses yang menjauhkan diri dari Iman,
menjauhi hal-hal yang telah ditentukan supaya diri manusia hidup sesuai dengan
ajaran Islam, Allah pun akan menghendakinya dengan memberi jalan supaya mereka
lebih jauh, semakin jauh, lagi, dan lagi, hingga yang bersangkutan akhirnya
tersesat dalam kegelapan, tidak mampu melihat cahaya untuk kembali pulang pada
kebenaran.
Begitulah
kehendak Allah, yang pada dasarnya, sangat berkaitan juga dengan kehendak dan
perilaku kita sendiri sebagai manusia. Berkenaan dengan uraian di Atas, Imam
Syafi’I memiliki gambaran yang sangat indah sekali tentang Iman. Dalam
perspektif Imam Syafi’I, Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah
dan berkurang, ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.
Jika setuju
dengan gambaran Imam Syafi’I tentang iman di atas, maka bagi saya perkara Iman
adalah tentang keberanian, tentang seberapa tangguh kita bisa menyelesaikan
gejolak di dalam di dalam hati dengan mengambil jalan yang paling benar.
Apabila Iman akan bertambah dengan ketaatan, maka kita selalu punya pilihan
untuk taat, atau bermaksiat. Memaksa diri untuk selalu berada dalam jalur
ketaatan agar iman kita senantiasa bertambah kuat lagi dan terus memang bukan
urusan mudah. Kita selalu dihadapkan dengan godaan berupa rasa malas dan nafsu
untuk tidak taat demi kesenangan duniawi yang sementara. Namun justru di
situlah esensi iman itu berada, pada seberapa yakin kita bahwa keimanan akan
membawa kita pada kebahagiaan hidup yang hakiki, dan akan menghadiahi kita
dengan balasan-balasan dari Allah, baik bersifat material ataupun tidak.
Sebagai contoh
sederhana, kita sering terbangun pada penghujung malam ketika shalat tahajjud
seharusnya didirikan. Baik oleh alarm yang sudah kita pasang, atau terbangun
secara alami. Pada saat itulah gejolak dalam hati kita terjadi. Apakah kita
berani untuk melawan sisa rasa kantuk, lalu bangun untuk berwudhu dan
mendirikan shalat, atau justru kalah pada pertempuran dan terus tertidur hingga
waktu subuh datang. Pilihan kita pada saat gejolak dalam hati itu terjadi,
tentu sangat dipengaruhi oleh seberapa yakin kita bahwa bangun untuk shalat
jauh lebih baik dan bernilai daripada tetap tidur di atas ranjang.
Dari penjelasan
di atas, kita sama-sama mengetahui bahwa Iman selalu dapat kita tingkatkan
dengan konsistensi kita menjalani rangkaian proses yang telah Allah tunjukkan
jalannya dalam Al-Qur’an.
Begitu pula
dengan impian yang kita miliki.
Ia membutuhkan
konsistensi, ia membutuhkan keberanian kita, ia membutuhkan perhatian dan
keyakinan.
Kita selalu bisa
mengatur posisi diri kita terhadap impian-impian yang ingin kita realisasikan.
Apakah semakin dekat, atau justru kita berjalan mundur dan menjadi semakin
jauh. Sebagaimana Iman yang memiliki jalan-jalan tertentu untuk meningkatkan
kualitasnya, setiap impian yang kita pasang juga memiliki jalan-jalan tertentu
yang akan membawa kita semakin dekat dengannya.
Ketika memiliki
suatu goal dalam hidup, maka kita harus berani menerima konsekuensi untuk siap
menempuh jalannya. Untuk dapat selalu berada di atas jalan yang mendekatkan
kita pada impian-impian itu, tentu selalu ada halangan yang sama : rasa malas
untuk berproses.
Kita memiliki
target untuk mendapat nilai A dalam suatu mata pelajaran, dan menjadi mahasiswa
yang berprestasi. Maka setiap hari kita selalu memiliki pilihan, apakah akan
bangun lebih pagi, belajar lebih keras, membaca lebih banyak, atau justru
memilih untuk tetap bermalas-malasan dan menjalani rutinitas tidak produktif
yang sama. Lalu seberapa tangguh kita akan terus konsisten menjalani prosesnya
yang berat dan melelahkan, itu tergantung pada seberapa kita yakin pada impian
kita. Seberapa kita percaya bahwa di balik hal-hal yang melelahkan itu, ada
kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki.
Tentang seberapa
kita ‘beriman’ kepada impian kita. Sebab sebagaimana iman, impian juga harus
dibuktikan dengan perkataan dan perbuatan.
Nice
ReplyDelete