Sering kali, kita merasa berada pada posisi yang begitu
sulit, begitu berat, hingga membuat kita lupa, bahwa di dekat-dekat kita saja,
masih ada yang hidupnya lebih sulit. Sementara itu, beban tanggung jawab yang
mereka pikul lebih berat dari apa yang ada di pundak kita.
Petang
selepas maghrib itu saya terpaksa menggeber motor ke sebuah mini market yang
tidak jauh dari asrama. Mini market tersebut memang menjadi langganan untuk
mengambil uang dari mesin ATM, selain ATM gallery di depan kampus, tentunya. saat itu adalah kali kedua saya mengambil uang di
ATM pada hari yang sama, dengan berat hati, melihat bahwa bulan Januari belum
berlalu sepertiganya, tapi saldo saya sudah terkuras hampir setengahnya.
Awal
bulan memang begitu, kebutuhan primer yang sudah direm sejak akhir bulan
sebelumnya tiba-tiba hadir seperti banjir bandang yang tak kuasa ditahan.
Sementara itu, penghasilan pribadi belum sampai pada taraf dapat mencukupi
segala kebutuhan lain yang tidak termasuk anggaran uang jajan dari orang tua.
Belum lagi, ada
kepentingan-kepentingan bersama yang perlu ditanggung juga. Sebenarnya tidak
wajib, tapi akan menjadi beban moral bagi diri saya sendiri ketika tidak mau
melakukannya. Salah satu pelajaran penting tentang kepemimpinan yang sering
menghantui saya adalah, bahwa ketika kita ingin orang lain melakukan suatu
usaha dengan level yang kita minta, kita harus menjadi orang pertama yang
melakukan usaha pada level tersebut.
Begitu juga dengan hal-hal yang
berkaitan dengan materi (baca : uang), ketika kita ingin rekan tim kita sampai
pada level suka rela menyisihkan uang yang seharusnya dapat mereka gunakan
untuk membeli segelas kopi susu dingin untuk kepentingan komunitas, maka kita
harus mencapai level tersebut terlebih dahulu. Kita harus berani menyisihkan
uang dengan rasio sumbangan dan kepentingan pribadi yang masuk akal.
***
Petang itu, suatu ruang dalam hati
saya diuji, melihat nota dengan nominal yang seharusnya bisa saya gunakan untuk
hidup beberapa hari kedepan harus begitu saja dikeluarkan untuk suatu
kepentingan.
Sebenarnya bukan perkara gaya
hidup, tapi perkara gaya makan yang tidak bisa ditahan. Saya laperan. Dan
ketika lapar, saya memilih makan daripada tidak dapat beraktivitas produktif
dengan baik. Apalagi, saat ini sedang berada pada hari-hari Ujian Akhir
Semester yang mengharuskan saya ‘hidup’ lebih lama dari biasanya.
Dengan dua beban itu, saya merasa
menjadi orang yang paling susah hidupnya di dunia, merasa menjadi orang yang
paling sedikit mendapat pemasukan tapi paling banyak mengeluarkan.
Di depan mini market itu, terlihat
seorang lelaki paruh baya, kulitnya legam terbakar matahari dan sudah mulai
berkeriput. Ia duduk menyelonjorkan kakinya, dengan tatapan lurus kosong yang
mengisyaratkan sebuah keinginan untuk beristirahat setelah menjalani hari yang
begitu panjang dan melelahkan. Di sampingnya, tampak tumpukan krupuk dalam
plastik yang jumlahnya tidak sedikit. Taksirku, ada puluhan bungkus krupuk di
sana. Yakinku, itu semua adalah barang dagangannya.
Aku berasumsi bahwa bapak itu telah
berjualan krupuk sepanjang hari, berkeliling kota dengan kedua kakinya saja,
dan sampai malam yang sudah semakin larut itu, dagangannya tidak kunjung habis.
Sementara mungkin ada keluarga di rumah yang menantinya untuk kembali, dengan
membawa harapan agar mereka tetap dapat bernapas esok hari.
Dari tatap mata yang sempat bertemu
dengan pandanganku itu, ada rasa gelisah, ada resah, serta ada harap yang
terpancar. Di sana aku membaca rasa haus yang begitu mendalam, serta lapar yang
ia tahan-tahan sedari siang.
Tapi pada saat seharusnya kemanusiaanku
muncul itu, justru ia mati dan tak berguna lagi. Aku berlalu tanpa acuh,
berusaha untuk tidak peduli dan pura-pura bodoh, pura-pura tidak dapat membaca
situasi. Dan hal-hal seperti itu jika terus diulangi, akan benar-benar
membuatku bodoh.
Dengan setumpuk ego di dalam hati,
aku segera masuk ke mini market, menyelesaikan urusan, dan segera keluar untuk
pergi. Sekali lagi, dengan pandangan yang dibuang dan berusaha untuk tidak
peduli.
Beberapa puluh meter berlalu, baru
hati ini rasanya tertampar keras sekali. Kenapa saya pergi begitu saja, tanpa
membantu bapak tadi. Kepada orang sepertinya, yang hidupnya berat sekali tapi
memilih untuk enggan meminta-minta tanpa usaha, seharusnya aku membantu. Seharusnya
aku hadir dan membagi kebagaiaan. Betapa bodoh, dan penyesalan itu seketika
menjelma menjadi rasa takut yang terus menghantuiku. Aku telah kehilangan
sebuah kesempatan untuk menjadi manusia yang memanusiakan manusia lain. Menjadi
manusia yang sedikit saja berguna bagi hidup orang lain.
Seandainya saja tadi saya membeli
sebotol minuman yang cukup untuk membasahi kerongkongan keringnya, mungkin rasa
sesal itu tidak menakut-nakutiku seperti ini.
Tolong yang seperti ini, jangan
pernah terulang lagi.
Asah dan pupuk terus rasa empati pada sesama......
ReplyDelete