Skip to main content

How I Summarize 2019 as A Reflection Toward The New Decade


Gimana rasanya ketika kamu punya sebuah kesalahan,

yang sengaja ataupun tidak telah menjadi bagian dari hari-harimu,

kemudian ada 13 orang duduk melingkar menghakimimu,

memaparkan semua kesalahan itu, mempertanyakan mengapa kamu melakukan itu?

Sementara kamu terdiam terintimidasi oleh tatap sinis mereka, tidak mampu mengelak karena kesalahan tersebut memang benar, kamu tidak dapat membela diri karena itu adalah bagian dari dirimu.

Gimana?

Sakit hati, teriris.

Semakin nggak paham gimana kelak rasanya dihisab pada hari kiamat. Ketika tangan, kaki, mata, beserta jajaran anggota tubuh lainnya mengadu pada Tuhan, tentang untuk apa mereka kita salahgunakan selama hidup. Kita tidak dapat mengelak karena mereka adalah bagian dari kita.

Wait, jika anggota tubuh kita justru menjadi saksi atas perbuatan buruk yang telah kita lakukan selama hidup, untuk kemudian karena kesaksian tersebut kita mendapatkan azab sebagai balasan, maka siapa kita sebenarnya? Bukankah itu berarti bahwa kita bukanlah anggota tubuh yang menyusun diri kita?

Oke, tapi poin yang hendak kutumpahkan bukanlah itu.

Despite of those horrifying facts above, itu adalah mental shock therapy terbaik yang saya dapatkan selama 3 semester menjadi mahasiswa ini. Momen tersebut benar-benar merangkum dan mendefinisikan bagaimana 2019 berlalu bagi diri saya.

Kalau boleh mengasihani diri sebagai sebuah bentuk pembelaan, maka bagi saya 2 semester awal menjadi mahasiswa ini adalah masa transisi untuk berpindah dari dunia yang penuh dengan penderitaan, namun semuanya hanyalah rekasaya, ke dunia baru yang benar-benar menuntut profesionalitas saya luar dalam. Bahwa di dunia yang baru tersebut, what is happening and your reactions matter.

Berhari-hari sebelumnya saya galau, sebab belum dapat merangkum pelajaran penting apa dari 2019 yang dapat dibawa menjadi bekal menghadapi dekade baru. Kemudian malam ini, saya dibuat sadar bahwa ternyata pelajaran tersebut ada jauh di dalam diri saya, pada ruang-ruang yang selama ini saya abaikan, tidak mendapat perhatian karena ego saya menjadi kabut yang menutupi untuk mengakui bahwa saya memiliki ruang-ruang kelam tersebut.

Selama 2019, dalam hampir setiap pekerjaan saya, pada setiap tanggungjawab yang diamanahkan, ruang-ruang tersebut hadir, mewarnai dengan kelam mereka, saya mengabaikan. Jika kita menganggap bahwa satu tahun ini adalah sebuah proses membangun suatu gedung dengan balok-balok kayu, maka ruang-ruang kelam tersebut adalah balok yang rapuh yang saya taruh di pondasi. Begitu bangunan selesai, sebuah tiupan angin saja dapat meruntuhkan semuanya, tanpa menyisakan apapun kecuali penyesalan.

Oke saya tahu sulit sekali memahami what is actually happening to me, and figuring out what im going to tell you, tapi intinya gini:

Memiliki perilaku, lalu melibatkannya dalam keseharian kita itu ibarat menabung. Setiap perilaku dan bentuk attitude, meski kecil, tetap akan terakumulasi.

Maka tabunglah yang baik-baik saja, jangan pernah mengabaikan suatu detail kecil yang buruk. Karena ketika detail kecil itu selalu ada di setiap ‘karya’-mu sepanjang tahun, maka orang akan menyimpulkan bahwa karyamu cacat.

“If you do something good, or bad, and you save them just a little bit, every day for many days sooner or later you will create something much bigger than you, something that will change your whole life in somehow.”

That was a note to my self, from 2019.
Thanks for giving a read. Responses are welcome.

Reach me Through:
Email: surya.negara@gontor.ac.id
Instagram: @ulhiel

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep

Makan Ramen Di @WaroenkRamen Boyolali #KulinerBoyolali

Penampang dari depan Mau makan mie ramen? Nggak usah jauh-jauh, di Boyolali juga ada. Tempatnya di Waroenk Ramen, di sebelah timur SMA BK 2, jalan ke arah komplek kantor bupati Boyolali dari Jl. Perintis kemerdekaan. Sebenarnya sabtu malam yang lalu diajakin makan di sini sama Galang— @Chisherz, tapi entah kenapa, selalu batal janji makan kami. Mungkin belum jodoh. Jadilah malam ini mengobati rasa penasaran menjajal restoran jepang baru ini bareng anak-anak Griya Pulisen. Siapa lagi kalau bukan Aga, Estu, Arsyad, dan, em… Dido. Kalau boleh jujur, pertama kali masuk ke restoran ini, sedikit kecewa. Ternyata tidak, atau bahkan jauh dari ekspektasi, bukan seperti image restoran masakan jepang yang ada dalam kepalaku. Ini lebih mirip warung mie ayam kali ya. Semoga cukup menggambarkan bagaimana suasananya Padahal restoran ini bukannya cabang Franchise, yang seharusnya sudah memiliki standar pelayanan dan kenyamanan tersendiri? Hanya yang di Boyolali kah yang seperti ini?