Bulan Ramadhan yang selalu dapat kita nikmati positive
vibes-nya itu adalah sebuah momentum yang sama bagi setiap orang. Namun setiap
kepala dari kita selalu memiliki cara untuk menginterpretasi, memaknai, serta
menjalani yang berbeda-beda. Setiap ‘Ups’ dan ‘Down’ yang kita alami pada
Ramadhan ini patut untuk kita syukuri dan hargai, selama kita yakin bahwa itu
semua adalah proses menuju sosok diri kita sendiri yang labih baik.
Di Ramadhan ini, ada orang-orang yang sudah mampu berpuasa
penuh hingga bulan berganti. Ibadahnya lengkap dengan selalu rajin menghadiri
jamaah shalat tarawih di masjid, dan menyempurnakannya dengan beri’tikaf pada
tiap malam ganjil di 10 hari terakhir Ramadhan. Sementara itu, pada dimensi
hidup yang lain, yang barangkali justru tidak jauh dari kita secara jarak, ada
orang-orang yang untuk menuntaskan puasa selama satu bulan saja masih belum
mampu. Bukan fisiknya yang tidak mampu untuk minimal menahal lapar dan dahaga,
tetapi imannya yang tidak siap untuk berjalan dalam ketaatan dengan segala
konsekuensi beratnya.
Hidayah untuk seseorang memang merupakan hak prerogatif
Allah saja. Tapi saya selalu yakin bahwa Tuhan tidak akan serta merta
memberikan atau menimpakan suatu hal kepada hambanya tanpa sebab dan alasan.
Hubungan kita dengan Allah bukanlah komunikasi satu arah,
melainkan dua. Ketika kita menginginkan Allah menghadiahi kita dengan hal-hal
baik, hidayah untuk teguh beriman misalnya, tentu kita harus menunjukkan
perilaku serta kesungguhan yang cukup untuk membuktikan bahwa kita pantas untuk
mendapatkan hal tersebut. Dan bagi saya, di situlah letak romantisme hubungan
kita dengan Sang Pencipta, yakni dengan adanya komunikasi serta interaksi dua
arah. Secara langsung maupun tidak.
Hal tersebut saya interpretasikan dari konsep pengembangan
diri, serta perubahan nasib yang Al-Qur’an ajarkan. Bahwa Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum, kecuali mereka memiliki willingness untuk merubah
keadaan diri mereka sendiri.
Ada banyak sekali hal yang dapat kita pelajari dari kutipan
Al-Qur’an dalam surat Ar-Ra’d ayat sebelas tersebut. Satu yang sampai saat ini
masih menjadi fokus untuk saya dalami, beserta kaitannya dengan keilmuan yang
saya pelajari adalah penggunaan kata qaum, nafs, beserta dhomir
yang menyertainya.
Ayat tersebut memberikan isyarat bahwa untuk membuat
perubahan, baik itu mengarah pada kemajuan ataupun kemunduran pada suatu
komunitas yang disebut dengan qaum dalam ayat tersebut, perlu kontribusi
nyata dari setiap anggota komunitas yang digambarkan dengan kata nafs.
Ayat ini menunjukkan adanya korelasi serta implikasi antara akumulasi perubahan
diri dari tiap anggota kelompok, terhadap perubahan keadaan komunitasnya.
Pada titik tersebutlah, kita akan mendapati hikmah dari
suatu konsep lain yang juga Islam ajarkan, yaitu nilai kebersamaan dalam konsep
shalat berjamaah. Bahwa untuk mengadakan suatu gerakan yang nyata dan berdampak
besar, perlu ada kerja kolaboratif antar individu, yang masing-masing harus
memiliki kualitas dan kapabilitas tertentu.
Qaum atau komunitas yang dimaksud tentu berlaku
secara universal, yakni pada semua skala. Dari yang terkecil: keluarga,
kelompok kerja, kantor, dsb. hingga yang terbesar dalam ukuran bermasyarakat
luas.
Lalu, pada aspek mana dalam nafs atau diri seseorang yang
perlu lebih dahulu diubah, untuk membentuk masyarakat yang siap untuk mewujudkan
perubahan dalam komunitasnya?
Akan saya bahas lebih lanjut pada tulisan berikutnya.
The first comment, nice... I shall wait the next text
ReplyDeleteAlhamdulilah banyak hikmahnya
DeleteMantap bro, lagi dong yg laen
ReplyDeleteBtw ulil sudah berubah yo , ulil lebih baik ya lil, bnyak pelajaran yang bisa diambil pak
ReplyDeleteTerus berkarya dan berjuang untuk kemaslakhatan umat.....terus.....dan teruuuussss
ReplyDelete