Aku mencintai Boyolaliku…
Sama seperti.. rasa cintaku yang
besar kepada banyak hal yang kumiliki di sekitarku. Rasa cinta ini bukan tanpa
alasan, bukan juga muncul begitu saja. Bagaimana tidak, dan betapa durhakanya
aku juga tidak memiliki rasa itu.
Di Boyolali, aku dilahirkan, di
kota mungil ini, aku dibesarkan dan melakukan banyak hal untuk pertama kalinya.
Termasuk jatuh cinta. Hampir 12 tahun lebih, disini aku belajar mengenal hidup,
dan mengenal dunia. Berjabat tangan dengan alam, berkenalan pada banyak orang
dan mengukir cerita bersama mereka.
Semua itu berlalu tanpa terasa,
kalai boleh, aku tidak akan menolak untuk menambah jatah waktu hidup bersama
Boyolali. Sayang impian-impian itu harus tercapai, dan berhak mendapat
perjuangan yang layak. Itu juga karena aku percaya ucapan Imam Syafi’I bahwa
berdiam di kampong halaman tidak akan membuatmu berkembang. Sama seperti singa
yang tidak akan mendapat mangsa jika enggan berburu.
Jadilah kampong halaman itu harus
ditinggalkan. Berat memang, tapi akan lebih berat jika semangat mengejar impian
itu tidak dibiarkan mengalir, hingga mati lagi, membusuk di dalam diri.
Hari ini, sudah memasuki tahun ke
empat aku berpisah dengan Boyolali, mungkin juga masih akan terus berlanjut. Tapi
aku masih selalu ingat, dan selalu ingin memberi tempat spesial untuk semua
memori di sana. Aku selalu rindu setiap momen bersama teman-teman, selalu rindu
dengan malam-malam menyusuri jalanan sepi Boyolali untuk mencari makan, dan..
semuanya.
Jujur, aku kangen dengan permainan
perang petasan, betengan, bermain bola di lapangan belakang rumah, mengaji di
masjid, dan.. semuanya.
Bahkan aku rindu untuk bisa kembali
mandi di sungai belakang kridanggo, untuk bersepeda setiap pagi, menyusuri
jalan Pandanaran pada Ahad pagi.
Ah..
Sekarang setiap detik di Botolali
jadi sesuatu yang sangat berharga. Dan tampaknya memang tidak mungkin untuk
memutar waktu agar semua yang telah berlalu bisa terulang lagi.
Bahkan sekarang mungkin aku harus
berterima kasih pada jarak, waktu, dan keputusan yang menciptakan sekat antara
aku dan kota mungil itu. Sehingga aku bisa menghargai semua potongan cerita dan
waktu yang telah lewat.

Comments
Post a Comment