Sebelum matahari terbit. Ketika malam sampai pada
penghujungnya, dan saat cahaya putih redup pertama kali muncul di ufuk timur.
Pada waktu bernama subuh itulah, kaum santri seperti kami punya banyak cerita
dan perasaan.
Subuh di Gontor, dimulai oleh para alim saleh bersarung,
dengan jas hijau kebanggan mereka, dan peci beludru hitam legam. Mereka adalah
para Qori’ yang pertama kali bangun. Saat suasana pondok masih sunyi, bahkan
ketuka para ayam jantan pun masih terlelap dalam mimpi.
Tugas mulia yang mereka embank adlah, mengumandangkan bacaan
Al-Qur’an melalui toa-toa menara masjid. Dengan bacaan ayat suci Al-Qur’an itu,
maka resmilah waktu subuh dimulai.
Setelah para Qori’, giliran tugas piket malam pengurus rayon
untuk membangunkan kelas 5 yang lain. Bagian paling tidak menyenangkan pada
waktu subuh bagi para kelas 5 adalah, ketika mereka harus berlarian ke kantor
Bagian Keamanan Pusat untuk membubuhkan tanda tangan pada daftar hadir sebagai
bukti ‘sudah bangun’.
Bukti ‘sudah bangun’ itu memiliki julukan tauqi’ Subuh.
Berungunt bagi yang tinggal di sekitar kantor Bagian tersebut. Lain cerita bagi yang asramanya berjauhan.
Bagian menyakitkan lain adalah ketika sudah berlarian jauh dengan mengenakan
pakaian shalat plus jas, berkeringat, dan begitu sampai di tempat, daftar
hadirnya sudah diambil. Apalagi jika diambil di depan mata.
Setelah itu, para pengurus akan kembali ke rayon
masing-masing untuk membangunkan anggota asramanya. Dan pondok pun akan segera
ramai.
Pertama adalah lelah, ketika harus tidur lebih dari pukul 12
malam—itupun jika beruntung— untuk menyelesaikan berbagai macam pekerjaan,
tetapi harus bangun pada waktu yang sama, 03.00. untuk satu tujuan yang sama,
Tauqi’ Subuh.
Kedua adalah bahagia. Karena ketika membimbing anggota
membaca Al-Qur’an, itu adalah waktu yang seru untuk bermain air dengan mereka
yang mengantuk.
Selanjutnya adalah marah. Perasaan special yang satu ini
muncul setelah pulang dari kantor keamanan, kemudia sebagai konsekuensi dari
rasa kantuk yang luar biasa, beberapa kelas 5 nakal—dengan segala usaha dan
cara mereka— bisa saja melanjutkan tidur di kamar pengurus.
Tetap, biasanya bagian keamanan yang berkeliling ke
asrama—termasuk ke kamar-kamar pengurus rayon— lebih pintar untuk menemukan
tempat mereka bersembunyi. Ada
adegan ketahuan tidur itulah, seember penuh air tiba-tiba jatuh dari
langit-langit kamar. Tanpa sempat melihat siapa yang sengaja melemparkannya,
Dan terakhir, satu perasaan yang paling indah, sekaligus
paling sering dilupakan adalah bersyuku. Betapa beruntungnya kita masih sempat
membuka mata di pagi hari. Terbangun oleh bacaan Al-Qur’an. Untuk kemudian
memulai hari dengan shalat subuh sebagai ungkapan rasa syukur tak terhingga
kepada sang Maha Esa. Bagaimana kalau esok, kita tidak bisa membuka mata lagi,
bagaimana kalau esok, kita justru terbagun oleh suara pertanyaan malaikat di
dalam kibir. Betapa ngeri membayangkan itu.
Yang lebih spesial adalah, membuka mata, hari yang baru,
berarti adalah kesempatan baru untuk memperbaiki hidup. Memperbaiki akhir dari
perjalanan super panjang yang ekstra melelahkan ini.
‘Early To Bed,
early To Rise, Makes me Health, Wealth, and Wise’
Comments
Post a Comment