Skip to main content

SU! Buh.

Sebelum matahari terbit. Ketika malam sampai pada penghujungnya, dan saat cahaya putih redup pertama kali muncul di ufuk timur. Pada waktu bernama subuh itulah, kaum santri seperti kami punya banyak cerita dan perasaan.

Subuh di Gontor, dimulai oleh para alim saleh bersarung, dengan jas hijau kebanggan mereka, dan peci beludru hitam legam. Mereka adalah para Qori’ yang pertama kali bangun. Saat suasana pondok masih sunyi, bahkan ketuka para ayam jantan pun masih terlelap dalam mimpi.

Tugas mulia yang mereka embank adlah, mengumandangkan bacaan Al-Qur’an melalui toa-toa menara masjid. Dengan bacaan ayat suci Al-Qur’an itu, maka resmilah waktu subuh dimulai.

Setelah para Qori’, giliran tugas piket malam pengurus rayon untuk membangunkan kelas 5 yang lain. Bagian paling tidak menyenangkan pada waktu subuh bagi para kelas 5 adalah, ketika mereka harus berlarian ke kantor Bagian Keamanan Pusat untuk membubuhkan tanda tangan pada daftar hadir sebagai bukti ‘sudah bangun’.

Bukti ‘sudah bangun’ itu memiliki julukan tauqi’ Subuh. Berungunt bagi yang tinggal di sekitar kantor Bagian tersebut.  Lain cerita bagi yang asramanya berjauhan. Bagian menyakitkan lain adalah ketika sudah berlarian jauh dengan mengenakan pakaian shalat plus jas, berkeringat, dan begitu sampai di tempat, daftar hadirnya sudah diambil. Apalagi jika diambil di depan mata.

Setelah itu, para pengurus akan kembali ke rayon masing-masing untuk membangunkan anggota asramanya. Dan pondok pun akan segera ramai.


Para anggota akan segera berwudhu, kemudian membaca Al-Qur’an atau sekedar membaca buku pelajaran untuk menanti adzan. Betapa indahnya subuh di Gontor. Tapi itu hanyalah sekelumit cerita mainstream anggota. Untuk kami, siswa kelas 5, ada berbagai perasaan dan pengalaman yang terjadi ketika subuh.

Pertama adalah lelah, ketika harus tidur lebih dari pukul 12 malam—itupun jika beruntung— untuk menyelesaikan berbagai macam pekerjaan, tetapi harus bangun pada waktu yang sama, 03.00. untuk satu tujuan yang sama, Tauqi’ Subuh.


Kedua adalah bahagia. Karena ketika membimbing anggota membaca Al-Qur’an, itu adalah waktu yang seru untuk bermain air dengan mereka yang mengantuk.

Selanjutnya adalah marah. Perasaan special yang satu ini muncul setelah pulang dari kantor keamanan, kemudia sebagai konsekuensi dari rasa kantuk yang luar biasa, beberapa kelas 5 nakal—dengan segala usaha dan cara mereka— bisa saja melanjutkan tidur di kamar pengurus.

Tetap, biasanya bagian keamanan yang berkeliling ke asrama—termasuk ke kamar-kamar pengurus rayon— lebih pintar untuk menemukan tempat mereka bersembunyi. Ada adegan ketahuan tidur itulah, seember penuh air tiba-tiba jatuh dari langit-langit kamar. Tanpa sempat melihat siapa yang sengaja melemparkannya,

Dan terakhir, satu perasaan yang paling indah, sekaligus paling sering dilupakan adalah bersyuku. Betapa beruntungnya kita masih sempat membuka mata di pagi hari. Terbangun oleh bacaan Al-Qur’an. Untuk kemudian memulai hari dengan shalat subuh sebagai ungkapan rasa syukur tak terhingga kepada sang Maha Esa. Bagaimana kalau esok, kita tidak bisa membuka mata lagi, bagaimana kalau esok, kita justru terbagun oleh suara pertanyaan malaikat di dalam kibir. Betapa ngeri membayangkan itu.

Yang lebih spesial adalah, membuka mata, hari yang baru, berarti adalah kesempatan baru untuk memperbaiki hidup. Memperbaiki akhir dari perjalanan super panjang yang ekstra melelahkan ini.


‘Early To Bed, early To Rise, Makes me Health, Wealth, and Wise’

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...