Skip to main content

Mas Iwan Today




                Setelah hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan taun demi tahun pun terlewati. Mengingatkanku kala waktu begitu cepat sekali berlalu. Tak sadar, semuanya telah berganti. Berproses dan berubah untuk jadi lebih baik. Kemarin, dua hari yang lalu tepatnya, mas iwan mengirimiku sebuah pesan di facebbook. Sekedar basa-bbasi menanyakan kaba dan bagaimana keadaan setelah hujan abu di darah masing-masing. Antara Boyolali dan Ponorogo. Lalu kuberanikan diri untuuk menanyakan kapan mas Iwan akan punya anak. Secara, sudah hamper satu taun ini mas Iwan menikah, dan aku nggak datang di hari spesialnya itu. Ternyata naknya lahir nggak lama lagi, bulan maret. Bulan depan. dan anaknya cewek.
                Cepat sekali waktu mengalir tanpa terasa. Rasanya baru kemarin aku masih sering main dan jalan-jalan bareng mas Iwan. Rasanya juga belum lama kami masih sering renang bareng di cokro. Menjajal semua kolam renang yang ada. Dari yang paling murah tiketnya tapi paling dalam kolamnya, sampai yang paling mahal tiketnya dan punya perosotan tinggi. Sekarang, mas Iwan sudah harus mengurusi istri dan calon anaknya. Inilah suatu hal yang pernah aku bayangin saat aku masih kecil dulu, ketika aku sudah makin besar, mas Iwan juga makin tua, punya anak dan istri.
                Mas Iwan adalah bungsu dari Bu Harni yang lebih akrab aku panggil dengan Mamak. Kkluarga mereka begitu baik sekali kepadaku. Dulu, saat aku masih kecil, Umi berjualan bakso di Delanggu, sementara Abah masih bekerja di Malang, maka agar tidak merepotkan, aku dititipkan ke keluarga Mamak. Mamak dan suaminya sudah seperti orang tua keduaku. Mereka ikut berperan juga dalam membesarkanku, walaupun aku sudah tak ingat lagi wajah suami mamak karena beliau lebih dulu meninggal sebelum aku cukup umur untuk mengingat apa yang terjadi dalam hidupku. Mamak juga sudah kembali kepada Tuhannya bertahun-tahun lalu. Saat Mamak meninggal, saat itulah pertama kalinya aku merasakan bagaimana sedihnya ditinggal seseorang meninggal. Kesedihan itu cukup untuk membuatku menangis sampai pagi. Dan mas Iwan yang juga ikut merawatku sudah seperti kakakku sendiri. Kalau mau dieritakan, pasti panjang sekali.
                Yang paling aku ingat adalah tiap pagi ketika aku masih balita. Mas Iwan selalu mengantar Pak Kepek untuk main judi di suatu tempat yang tidak terlalu jauh dengan motor bebeknya. Kemudian setelah itu, seribu (entah Pak kepek hanya memberi sebesar itu atau lebih) dari ongkosnya dipakai untuk membelikanku jajanan di toko ‘Pak Madi’. Mengharukan sekali mengingatnya. Namun kini, bertahun-tahun setelah itu, aku baru bertanya, halal gak ya makanan itu? Rasanya enggak deh, haha.
                Ada lagi, hampir setiap hari Umi pulang malam. So aku juga menetap di ruah mas Iwan sampai malam juga. Aku suka sekali kalau mas Iwan mengajakku nonton acara horror di tv yang waktu itu masih banyak ssekali. Dan yang paling aku suka adalah dunia lain. Dan yan terakhir sebelum akhirnya mas Iwan sibuk dengan pekerjaannya adalah renang. Hamper setap hari saat aku liburan atau pulang dari sekolah kami pergi ke Pemancingan Cokro, dan hampir setiap hari juga punggungku terasa panas seperti terbakar. Akibat suka renang dibawah terik matahari.
                Mas iwan juga adalah orang yang pertama kali mengenalkanku kepada music secara tidak langsung. Secara, mas Iwan adalah seorang Bassist yang sering banget manggung di luar kota. Dari dialah aku kenal mas Johan yang mengajarkanku bermain drum untuk pertama kalinya. Namun setelah lulus kuliah, mas Iwan bekerja di Solo dan kemudian berpindah-pindah. Sejak itulah kami jadi jarang maen bareng lagi. Jangankan untuk maen, sekedar bertemu atau bahkan berpapasan saja jarang sekali. Sampai pada akhirnya, Mas Iwan menikah sat aku masuh di pondok. Luar biasa sekali.
                Mungkin inilah perpindahan posisi yang harus aku alami. Seperti perpindahan pengurus OPPM. Dulu aku yang masih kecil, dirawat dan dibesarkan. Kemudian saat aku sudah cukup besar, orang-orang yang merawatku akan berpindah juga kepada pekerjaan yang lain. Sekarang atau nanti, aku yakin aku juga akan merawat anak orang atau bahkan anakku sendiri, entah kapan, yang jelas, ini pasti akan terjadi.

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...