Skip to main content

Gontor and it's rain story

                Sudah hampir dua tahun hidup di Gontor. Seiring bergantinya hari, minggu, bulan, tahun, musim pun juga silih berganti. Walaupun tetep Cuma ada dua musim. Penghujan dan kemarau. Tapi hal itu berimbas banyak sekali pada kegiatan kami karena disini kondisinya sangat berbeda sekali dengan kondisi rumah. Baik saat hujan maupun terang. Saat kemarau maupun penghujan.
                Seingetku, sejak pertama kali menginjakkan kaki di Gontor, kalau lagi musim kemarau, matahari akan bersinar terang sepanjang hari. Dan udara jadi terasa panas sekali. Lebih-lebih pada siang hari kalo lagi dapat iqob dijemur atau lari keliling tujuh belas agustus. Kalau lagi musim kemarau juga, jangan pernah berharap untuk ketemu hujan walaupun sekali dan sebentar sampai musim ini berganti. Belum pernah kualami
                Saat kemarau, jemuran pasti kering walau Cuma dijemur sebentar saja. Tapi kalau lagi musim penghujan, jangan harap. Bisa sampai berhari-hari itu pakaian digantung di jemuran lantai tiga. Hal ini sangat berbahaya sekali. Takut ilang! Dan setelah dijemur berhari-hari dengan resiko hilang itu, ternyata bajunya masih basah juga! Sangat-sangat menyedihkan
                Saat kemarau juga, walaupun panas, tapi semuanya mudah. Jalanan kering, jadi kalau mau pergi kemanapun nggak perlu takut baju kotor kena cipratan lumpur. Lebih-lebih kalau lagi make sarung setelah maghrib. Udah gelap,becek lagi. Perlu diketahui, otoritas Gontor memaksa kami untuk selalu bergerak. Kamar ada tempatnya sendiri, kalau mau makan juga harus jalan lagi ke dapur. Mau jemur baju, naik dulu ke lantai tiga. Mau megang komputer, ada lagi tempatnyaa.  Dan setelah hujan turun, pasti ada aja genangan air. Itulah yang bikin males jalan-jalan setelah hujan make sarung.

                Ah memang kadang hidup di pondok ini begitu menyakitkan. Kalau ada hujan, mau ngapa-ngapain pasti susah. Cuma terkurung didalam kamar. Paling Cuma bisa bercanda sama tidur. Mentok-mentoknya kalau nggak nulis, baca buku. Mana mungkin bosa nonton, maen game, apalagi chattingan. Tapi kalau dirumah, kalo lagi hujan, biasanya aku nonton sambil ngenet. Bisa juga ngenet di kamar sambil menikmati hujan dari jendela. Ah indahnya punya rumah. Jadi pengen pulang, kan.

written on : 2nd of april 2014

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...