Gak tau
tanggal berapa dan hari apa, yang pasti, waktu itu bulan februari. Kiri, kanan
kulihat banyak banner iklan dibukanya pendaftaran study tour ke Australia. Iya
cung, kamu gak salah baca. Ke Australia. Akhir-akhir itu aku sedang bosan
dengan diriku yang suka ngurung dirumah selama liburan. Aku jenuh, aku perlu
melihat dunia luar. Aku rindu kebebasan. Terlebih yang aku tahu setelah
wawancara ke penanggung jawab acara ini, Mr. Nuris, study tour ini bukan Cuma
perjalanan belajar bahasa saja. Selama 13 hari, pesertanya akan diajak
berkeliling menjelajahi Kebudayaan Australia. Juga ber-‘ziarah’ ke banyak
tempat. Yang jelas bakal jadi sebuah pengalaman luar biasa.
Maka
setelahmenyelesaikan job wawancara ke kantor LAC (Language Advisory Council) di
gedung Indonesia 1 malam itu, dengan yakin aku mengambil langkah buat ikutan
daftar ujian study tour ini. Dibalik bayangan uang darimana. Australia itu
jauh, pasti butuh banyak duit. Tapi dengan modal keberanian ditambah keinginan
terbang enam jam melintasi samudra hindia dan dicampur rasa Gee R bakal
diterima, aku ikut ujian untuk mengetes kemampuanku. Sudah pantaskah aku untuk
terbang ke tanah orang dengan potongan 10 juta dari pondok.
Itu
hari Ahad, dan aku lagi dapet jatah buat piket telpon, seharian penuh nongkrong
di gedung Madani sambil nungguin empat pesawat telpon kalo aja ada salah satu
dari mereka yang bunyi. Pada jam istirahat pertama, kebetulan banget, aku
ketemu sama Rasyid—atau entah siapa namanya gw gak kenal, di dapur yang
kebetulan juga dapur kami berada di sebelah gedung Madani. Rasyid ngasih tau
kalo nanti malam saat yang lain latihan pidato, peserta ujian study tour harus
dating ke Kantor LAC Indonesia. Buat ujian lisan katanya, oh oke, sip. Batinku,
oh ente ikut juga ya sid,kok baru tau sih -__-
Tiga
kelompok tadi terdiri atas 8-9 orang. Satu persatu masuk ke ruangan itu,
memulai ujian lisan. Ditanya-tanyain sama pengujinya. Setiap orang yang masuk,
butuh waktu sekitar 7-10 menit untuk bisa keluar lagi. Cukup singkat kalo
dibandingkan dengan ujian lisan yang sebenarnya.
Sementara
sebagiannya masuk, yang lain nungguin diluar, diatas lantai teras kantor LCD.
Lama banget, suer! Sambil nungguin, peserta yang lain ada yang masih rajin
belajar, ada yang masih baca buku, ada juga yang ngobrol asik sampe
ketawa-ketiwi nggak jelas. Kalo aku sih tidur :D jadi merasa seperti
gelandangan, tidur di pinggir jalan. Apalagi setelah santri-santri yang lain
keluar dari ruang latihan pidato mereka dan pulang ke rayon. Jalanannya jadi
rame banget dan mereka ngelihatin aku dan beberapa teman lain yang juga tiduran
disana dengan pandangan yang ngeh banget. Tapi maSAUUU!! Yang penting uwenak.
Ademm
Akhirnya
namaku dipanggil juga setelah hamper ketiduran beneran. Pengujiku adalah Mr.
Taufiq, guru tahun kelima, dan Mr. Abdul Aziz. Sebelum menjadi guru, Mr. Aziz
adalah Staff bagian penggerak bahasa 2013. Beliau tinggal di rayonku saat kelas
enam sudah turun dari kepengurusan OPPM dan menghadapi ujian akhir yang
benar-benar akhir.
Kami
pernah kenal sebelumnya, saat beliau masih kelas enam dan aku masih kelas satu.
Yang aku dan Mr. aziz ingat, beliau pernah nyumpahin aku bakal langsung naik ke
kelas tiga tahun depan. ‘last year, when I stay in your hostel, I said that
you’ll be class three next year, right?’ katanya. Dan ternyata sumpahannya jadi
kenyataan. Sebelum ini, kami pernah bertemu di kelas, beliau sebagai guru
penggati di kelas 3D, dan aku sebagai muridnya. Luar biasa, setelah pada tahun
lalu-nya kami pernah bertemu di Gedung Baru Shigor, saat aku masih kelas satu
dan beliau kelas enam. Yang lebih aku ingat, seorang teman sekamarku pernah
meminta penjelasan pelajaran fisika kepadanya pada suatu malam. Sayangnya
beliau tidak mampu menjawabnya malam itu juga, yang mengesankan, keesokan
harinya, sebelum kami berangkat masuk ke ruang ujian, Mr. Aziz mendatangi
seorang teman tadi untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab tadi malam.
Entah darimana dia mendapatkan jawabannya.
Sebenarnya,
pertanyaan yang penguji ajukan standar saja, cumna soal biodata. Aku belum
sempat belajar Grammar lesson one yang katanya bakal ditanyain. Padahal pagi
harinya, aku yang saat itu lagi kebagian jatah piket telpon dan nggak masuk
kelas, udah niat mau belajar Grammar abis-abisan. Tapi nyatanya, bukan belajar,
aku malah keasyikan baca novel. Modalku Cuma kemampuan bahasa Inggris seadanya
dan hafalan tulisan pendek ‘why I wanna fly to aussie’yang udah aku karang lama
sebelum ujian lisan ini, bahkan sebelum aku mendaftarkan diri untuk ikut
seleksi.
Dalam
ujian lisan ini, selain kemampuan berbahasa yang jadi pertimbangan berat,
setauku ada dua hal lainnya yang nggak kalah penting. Dua pertanyaan yang
sakral. ‘kenapa anda tertarik untuk ikut program study tour ini?’ dan ‘Apa yang
akan anda berikan kepada pondok sebagai hasil dari apa yang telah anda dapat di
Australia?’. Dua pertanyaan itu akan jadi pertimbangan berat untuk menentukan
‘pantas’ atau ‘tidak’ kami diberi potongan 10 juta dari pondok untuk mengikuti
acara ini.
Setelah lama berbasa-basi, nanya
kapan lahir, punya kesibukan apa dipondok, nama ayah siapa, pekerjaan apa, ibu
siapa, pekerjaan apa, dan berjuta pertanyaan seperti itu, tibalah pertanyaan
sakral itu. ‘so, ulil, why do you interested to follow this agenda?’ Mr. Abdul
Aziz said. Kujawablah dengan apa yang telah ku tulis di ‘why I wanna fly to
aussie’ yang udah aku hafalin tanpa kurang sepatah kata, huruf, bahkan tanda
baca sekalipun. Mereka berdua Cuma nyengar-nyengir mendengar jawaban itu. Entah
nyengir karena kagum atau dalam hati mereka ‘SOEHAN ENTE SUL?!!?’ atas jawaban
soal Islamizing the world itu tapi aku yakin, nggak ada diantara 26 ahli bahasa
yang mendaftar yang punya jawaban sepertiku.
Setelah mereka mengangguk-angguk
dengan jawaban yang ‘melangit’ itu,
giliran pertanyaan sakral yang kedua. ‘Apa yang bakal kamu dedikasikan ke
pondok, atas kepercayaan yang kami berikan kepadamu, kalau kamu berhasil lolos
untuk terbang ke Australia?’ so simple, very simple question, but need long
answer. Aku mulai jawaban dengan suatu kejadian yang pernah terjadi di kamarku,
kamar sebelas rayon Saudi satu lantai satu.
Suatu
hari, ketika ketua kamar sebelas yang lebih dianggap dan diperlakukan sebagai
jongos oleh orang-orang yang merasa tua dikamar ini mengumumkan pemberitahuan
dari pengurus rayon dengan bahasa inggris, ada si tua yang marah, meminta si
jongos memngumumkan dengan bahasa Indonesia saja,biar cepat katanya. Tapi si
‘jongos’ nekat, tetap berteguh pada pendiriannya yang taat pada peraturan
berbahasa dengan melanjutkan ocehannya menggunakan bahasa inggris. Si tua pun
gondok. Merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh si jongos, ia nekat
menerjemahkan apa yang dikatakan jongos dengan bahasa jawa. Suasana pun menegang,
antara si tua yang makin marah, karena ocehan dalam bahasa jawanya tetap tidak
dihiraukan oleh jongos. Ketika amarah si tua seudah memuncak, akhirnya ia
menendang paha si jongos dengan tendangan tsubasa. Secara, si tua adalah tim
khusus atlit bola di pondok.
Mr. Aziz termangut-mangut serius
mendengarkan ceritaku. Beliau menyeletuk di tengah-tengah cerita. ‘who is the
kicker? What class?’ aku ragu menjawab pertanyaan itu. ‘mMmm.. three kei.’ Mr
Aziz Nampak menulis sesuatu di catatannya. ‘Oke. Three kei. Saudi one first
floor room eleven.’
Aku melanjutkan cerita, si jongos
pun putus asa, aku tahu wajah sakit hatinya. Dengan cerita tersebut, aku
berkesimpulan, saya tahu Mr, banyak dari kami yang belum mengerti pentingnya
bahasa. Terlebih bahasa inggris yang jarang kami gunakan. Jadi saya berharap,
dengan pengalaman perjalanan berinteraksi dengan native speaker ini, aku ingin
menunjukkan kepada orang lain, walaupun kepada teman yang berada disampingku
terlebih dahulu bahwa bahasa itu penting sekali untuk masa depan kita semua
menghadapi era globalisasi. Dan penting sekali untuk member pemahaman yang
benar kepada dunia tentang islam. Ujian lisan itu pun selesai dengan gud lak
dari mereka berdua.
Step selanjutnya adalah ujian
tulis. Hari selasa, saat yang lainnya berlatih percakapan, kami ramai-ramai
datang ke kantor LAC di gedung Abadi. Sebenarnya pagi itu kami akan
melaksanakan dua ujian sekaligus. Written examination dan listening. Aku seneng
LAC ngadain ujiannya selasa pagi, karena itu berarti kami tidak perlu mengikuti
lari pagi yang membosankan itu.
Oke, jam menunjukkan pukul 5.20,
kertas dibagikan dan kata MR. Nuris waktunya Cuma dua puluh menit. Asik,
pikurku. Nanti aku bisa cepet pulang ke rayon dan mandi duluan sebelum yang
lain pulang lari pagi. Hamper sama saat ujian lisan, buku grammar lesson one
yang aku bawa nggak sempet kebaca sama sekali. Aku justru asik membolak-balik
album foto study tour ke Australia gontor putrid tahun lalu. Aku bener-bener
ngiri, ngelihatin foto mereka di taman yang keren-keren, shalat di tepi danau,
dan masih banyak lagi. Mungkin nggak ya aku bisa merasakan apa yang mereka
rasakan itu?
Soal ujiannya ternyata mudah
sekali, sudah aku pelajari di kelas hamper 85%. Hamper semua pertanyaannya
diambil dari buku pelajaran kelas tiga. Nggak sampai sepuluh menit pun semua
soal sudah habis kukerjakan. Walaupun ada satu dua soal yang diluar kemampuanku
dan terpaksa menjawabnya ngasal. 20 menit berlalu, ternyata MR. Nuris masih
betah nungguin orang-orang yang belum selesai dengan lembar jawaban mereka.
Tapi aku tidak sabar, ingin cepat segera lari ke rayon -__-. Akhirmya ujian
baru selesai pukul enam tepat. Pupus sudah rencanaku buat mandi duluan. Kamar
mandi sudah ramai semuanya.
Sekitar seminggu setelah hari itu,
aku dapat panggilan dari bagian penerangan untuk datang ke gedung Abadi lagi. Aku
kira apa, ternyata masih ada ujian terakhir. Listening, yang sebelumnya aku
lewatkan karena jadwal ujiannya bertabrakan sama acara Dams Show. Ujian ini
sebenarnya simple saja, ada sebuah rekaman yang disetel, dan tugas kami
hanyalah menjawab pertanyaan diatas kertas sesuai dengan percakapan yang ada
direkaman tersebut.
Kira-kira ada tiga orang yang
berdialog soal ‘home sick’ dengan bahasa inggris yang kelewat fasih. Setelah
rekaman yang berdurasi sekitar tiga menit itu diulang tiga kali, aku baru
sedikit dapat detail pembicaraan mereka. Kertas pun kukumpulkan lagi dengan
jawaban seadanya. Aku bener-bener nyesek saat Mr. Nuris ngasih tahu jawaban
yang benar di akhir.
Setelah ujian listening itu, rasanya
acara ini hilang, nggak pernah ada kabar lagi dalam kurun waktu hamper satu
bulan. Kapan peserta yang lolos akan diumumkan pun nggak pernah dikasih tahu.
Hal itu membuat semua pendaftar deg
deg serr. Galau berharap-harap cemas menunggu. Terlebih saat bagian penerangan
membacakan berita panggilan di masjid ‘adda’wah ila maktabi haiati isyrofi
lisyuuni’ ‘yaah’ kecewaku. Panggilannya bukan ke haiati isyrofi lughoh alis
LAC, tapi ke haiati isyrofi lisyuuni durusul masaiyah alias ALAC. Dan hal itu
nggak terjadi Cuma sekali, tapi berkali-kali, berhari-hari, berbulan-bulan,
bertahun-tahun. Cape deh.
Suatu hari, 9 aApril 2014 saat aku
udah hamper lupa pernah mendaftar acara ini, ada sebuah panggilan yang
bener-bener panggilan ke LAC. Aku yakin telingaku nggak salah denger. Bukan
ALAC lagi dan ukan panggilan untuk penggerak bahasa rayon ataupun orang-orang
bermasalah dengan LAC. Tapi ini asli panggilan untuk peserta study tour. Hatiku
seneng tanpa ekspresi mendengar panggilan ini, setelah penantian panjang tentunya.
Sesampainya di meeting room LAC di
gedung abadi, lagi-lagi Mr. Nuris. Sampe bosen gw ngelihatnya. Dia member kami
motivasi dan pengertian bahwa yang terpilih mungkin saja bukan yang terbaik,
tapi yang diberi kesempatan. Kelamaan, aku makin gak sabar. Jadi yang belum
diberi kesempatan jangan putus asa. Lain kali mungkinsaja bisa. Iya pakk -__-
Akhirnya beliau menbacakan
nama-nama yang terpilih itu, Cuma 6 orang!! Dan ternyata aku belum diberi
kesempatan. Yusuf sekalipun yang notabene paling pandai berbahasa inggeis
diantara kami tidak terpilih.
Sepulang dari abadi itu, aku
melangkah kecil menuju GOR tanpa senyum. Rasa kecewa sudah pasti ada. Tapi yang
aku yakini, rasa kecewa itu nggak boleh kelewat lama. Aku harus sesegera
mungkin ketemu temen-temen yang paling bisa bikin aku ngakak tanpa henti.
Mungkin dengan itu aku bisa lupa sepotong kesedihan ini.
Dengan hal itu, aku bukannya malah
jadi down, justru membawa diriku kedalam sebuah kesadaran bahwa impian untuk
menginjakkan kaki diatas tanah orang lain itu nggak semudah yang aku bayangkan.
Bukan Cuma melewati ujian LAC yang sekedarnya saja itu. Semuanya butuh proses,
dan aku jadi tahu kalau ternyata aku belum ‘pantas’. Aku belum diinjak,
dibakar, apalagi dihancurkan. Setidaknya dengan mendaftarkan diri untuk ikut
ujian study tour ini aku jadi lebih semangat mengembangkan kemampuan berbahasa
inggrisku. Seenggaknya aku pernah semangat ngomong pakai bahasa inggris dengan
teman sekamarku.
Selebihnya, aku sadar bahwa aku,
perlu usaha yang lebih.
~ulil
013004014
Comments
Post a Comment