Skip to main content

Seonggok Daging Bernama dan Kesombongan



                 Manusia memang telah diciptakan oleh Allah Swt. Dengan penciptaan yang paling sempurna. Namun beigtu, tidak ada seorangpun yang berhak untuk mengaku lebih baik dari sesamanya. Sehebat apapun ia. Dimata Allah, semua manusia adalah sama. Hanya tingkat ketaqwaan seseorang-lah yang membedakan.
                Pencipta alam semesa Yang Maha Adil itu juga telah menjadikan manusia ini beragam. Bukan hanya suku, warna kulit, atau kenampakan fisik lain sja yang berbeda yang beragam. Lebih dari itu, yang ada didalam jiwa kita juga telah dijadikan-Nya beragam. Didalam hati tidak kasat mata itulah tersimpan sifat-sifat yang beragam. Belum tentu sifat yang dimiliki oleh seseorang dimilliki juga oleh orang yang lainnya. Bahkan oleh sahabat karibnya sendiri, itu tidak menjamin mereka memiliki sifat-sifat yang sama secara keseluruhan.
                Sifat-ifat tersebut berperan sangat penting sekali dalam pengendalian tubuh. Sifat-sifat yang kita miliki juga mempengaruhi sikap kita terhadap suatu kejadian. Misalnya saja seorang pemarah, mungkin saja akan lebih sering menyelesaikan permasalahannya dengan kekuatan tangan atau kakinya. Jelas berbeda dengan sseorang penyabar yang mungkin saja akan lebih suka menyelesaikan permasalahan dengan hati dan senyuman. Begitulah, yang tersimpan didalam hati inibukan sifat yang baik saja. Yang buruk terkadang juga menyelip. Yang buruk itulah namanya penyakit hati.
              
  Kadar sebuah sifat pada diri seseorang dengan yang lain pun berbeda-beda. Ada saja orang yang sombongnya selangit, tapi suka membantu. Ada yang nakal tapi hatinya lembut. Dan masih banyak lagi perpaduan sifat didalam diri seseorang yang terbentuk dari banyak factor. Mulai dari lingkungan, pendidikan, pengalaman, dan yang lain. Begitulah Allah menjadikan manusia dengan ke-tidak sempurnaan dan penuh kekurangan. Dengan itu pula, secara tidak langsung Allah menuntut kita untuk selallu berbenah diri agar jadi lebih baik.
                Manusia juga merupakan makhluk social yang memiliki batas kemampuan untuk berbuat. Ia tidak akan pernah mampu melakukan segala hal sendirian, manusia membutuhkan sesamanya untuk hidup bersama dan bersimbosis mutualisme. Selain untuk sailing bekerja sama, kehadiran manusia-manusia lain didalam kehidupan kita juga berperan sebagai kaca yang senantiasa mengingatkan. Kaca yang paling sering kita jumpai adalah orang-orang yang ada disekitar kita. Yang paling banyak kita berinteraksi dengannya. Tanpa perduli apakah itu kawan atau lawan.
                Seorang temanpun kadang tidak mampu untuk menjadi kaca yang baik. Bisa jadi malah teman kita sendiri yang telah memalsukan peran ‘kaca’-nya. Itu terjadi saat seseorang terlalu menyayangi dan terlalu menerima diri kita apa adanya. Padahal teman yang baik itu akan selalu membawa diri kita kepada perubahan menuju yang lebih baik. Yang paling simple adalah dengan mengingatkan kita saat berbuat suatu kesalahan, dengan harapan kita tau itu salah dan tidak mengulanginya lagi. Memang kadang peringatan dari seorang teman itu pahit. Padahal justru mereka begitu baik hati kepada kita karena masih mau mengingatkan kawannya dengan lisan saja. Belum tentu orang lain akan melakukan hal itu. Yang banyak terjadi kini adalah orang yang berbuat kesalahan diingatkan dengan pisau atau ‘sekedar’ pukulan
                Sayangnya kita lebih sering membenci orang baik yang masih mau berkata jujur tentang keburukan kita. Kita terlalu sombong untuk mau mendengar nasehat dari orang lain. Kalau mereka adalah bawahan kia. Gengsi dong atasan ditegur bawahan. Merasa diri kia sudah cukup sepurna
                Ditinjau dari sisi yang lain, jujur saja, kadang kalau melihat atau tahu seorang teman berbuat salah, bukannya mengingatkan, kita malah membiarkannya tanpa alasan yang jelas. Antara takut mereka jadi membenci kita atau sengaja membiarkan teman itu terjerumus dalam dosa.
                Sebaliknya, kadang orang yang kita benci, yang paling sering ngata-ngatain justru berperan sebagai sahabat yang baik. Mengungkapkan keburukan kita dengan lantang tanpa takut dibenci. Seharusnya kita bukan membenci mereka, jusru bersukur karena masih ada orang yang mau berkata jujur, mengingatkan kekurangan kita untuk diperbaiki.
                Tapi kenyataannya, kalau ada seorang musuh yang berkata jujur tentang keburukan kita, bukan mau mendengarkan dan merenung. Malah kita semakin embencinya. Ah lagi-lagi karena rasa sombong yang dimilliki manusia.
                Hendaknya kita bukan hanya menerima suatu kejadian dengan mentah-mentah dan hanya melihatnya dari satu sisi saja. Percayalah, pada setiap sesuatu yang pahit, ada hikmah yang dapat dipelajari~

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...