Hujan yang mengguyur kota sejak satu jam terakhir semakin
menjadi-jadi dan belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berhenti. Suhu udara
malam yang sewajarnya hanya turun sampai ke titik dua puluh derajat celcius
tampaknya lebih rendah untuk malam hari ini. Boyolali semakin mendekati puncak
musim dingin tahun ini. Aku menaikkan resleting jumper hijau tosca yang
kukenakan. Menyeruput kopi, dan memeluk kakiku sendiri yang kunaikkan ke atas
sofa semakin erat. Jarum jam di tanganku menunjukkan hampir pukul sepuluh tiga
puluh. Mungkin kali ini, lagi-lagi aku akan meninggalkan kedai wedang anget
milik mang udin yang buka sampai pukul tiga subuh ini lewat dini hari.
Jangan salah, walaupun hanya
menyediakan wedang anget dan jajanan ringan khas jawa tengah, kedai ini
memiliki desain interior dan eksterior yang begitu menawan. Dari luar, orang
akan lebih percaya kalau kedai ini adalah salah satu cabang franchise coffee
shop milik asing. Saat masuk kedalam, suasana akan berubah derastis menjadi
kafe dengan pencahayaan yang sempurna dari perpaduan lampu kuning dan putih di
langit-langit kedai. Setiap malam, mang udin rutin memanggil grup band jazz
lokal untuk menghangatkan suasana kedainya
selepas isya’ sampai kedai tutup.
Malam
ini giliran The Dreamer yang diundang mang udin ke kedainya. Baru kusadari
kalau ternyata vocalis The Dreamer berhijab. Tepat saat mereka memulai secret
admirer-nya mocca, kilatan cahaya halilintar mengagetkan pengunjung
kedai yang sedikit ramai malam itu. Semuanya bersiap untuk suara menggelegarnya.
Aku menikmati hujan dari sofa
yang aku tempati. Memandang jauh jutaan butiran air terjun bebas dari langit
melalui dinding kaca kedai disamping sofaku. Kuusap embunnya untuk mendapat
pemandangan lebih dari luar. Meskipun hujan badai begini, ternyata jalan raya
masih ramai juga dengan mobil-mobil yang melintasi jalan provinsi. Lampu-lampu
mobil itu terlihat indah menyusuri jalanan dari kedai yang lokasinya naik
sedikit diatas bukit ini.
Hampir
jam dua belas malam. Hujan mulai sedikit reda. Tapi aku masih belum ingin
beranjak dari tempat ini. Jemariku masih asik beradu dengan keyboard notebook
sambil sesekali menyeruput cangkir kopi keduaku. ditengah gemelutuk pertarungan
jemariku dan keyboard, The Dreamer turun dari panggung, pengunjung yang duduk di
depan bar melongo. Juga mereka yang duduk di sofa. Biasanya band jazz yang
diundang hanya akan turun saat jam main mereka selesai. Bahkan minum wedang
jahe atau ngemil kacang godhok pun biasanya mereka tetap diatas panggung sambil
diselingi ngobrol dengan pengunjung.
Tiba-tiba
saja lampu didalam kedai mati. Suasana menjadi gelap seketika dan pengunjung
mengeluh kecewa. Termasuk aku. Sialan. Untung notebookku sudah memakai
teknologi penyimpanan energi. Namanya baterai
‘Mang!
Lampune matek!!’ teriak pangestu yang duduk diatas bangku tinggi didepan bar
Suasana
kedai yang tadinya penuh kenikmatan menyimak alunan jazz sekarang menjadi
sedikit riuh. Suara cangkir dipukul dengan sendok teh terdengar dari seluruh
sudut kedai.
Kulirik
jam tangan di pergelanganku. Tengah malam lewat dua menit. Ah benar saja. 26
september! Tentunya hari ini adalah hari yang spesial buat mang udin. Karena 26
september adalah hari jadi Kedai Hijau ini. Kejau alias kedai hijau mang udin
dirikan sepuluh tahun yang lalu bersama istrinya. Mang udin memulai usahanya
dengan angkringan di jalan perintis kemerdekaan.
Kemudian
lampu putih panggung kembali terang di tengah kegelapan kedai saat itu. Mang
udin sudah duduk diatas salah satu bangku tinggi di panggung. Lengkap dengan
sebuah gitar Yamaha lawas miliknya.
‘Assalamu’alaikum!’
sapa mang udin diiringi genjrengan asal
Para
pengunjung menjawab salam itu sambil tertawa tak tahan melihat gaya mang udin
yang biasanya hanya mengenakan celemek ala barista.
‘ini
udah masuk 26 september, kan?’ tanyanya lucu sambil nyengir memperlihatkan
salah satu gigi hitamnya.
Tanpa
basa-basi, mang udin memainkan selamat ulang tahun-nya Jamrud dengan
aransemen jazz nya sendiri. Nggak ada yang menyangka mang udin bisa sehebat itu
memainkan gitar dan membawakan sebuah lagu. Lampu-lampu kedai kembali menyala
indah seperti biasa. aku tersenyum manis. Luar biasa. Beberapa pengunjung mulai
mengabadikan permainan mang udin dengan kamera ponsel mereka sambil terangguk-angguk
mengikuati alunan gitar.
Memasuki
interlude, mang udin melambatkan
tempo gitarnya.
‘Malam
ini semuanya gratis.’ Kata mang udin, masih tetap memainkan gitar.
Pengunjung
bersorak bahagia sekali. Terlebih aku yang sudah menghabiskan dua cangkir kopi
dan banyak gorengan. Pegawai mang udin di bar juga tampak senang, dan tentunya
sibuk melayani pesanan tambahan. Pastinya mereka dapat bonus khusus.
Tanpa
kusadari, seorang gadis dengan kerudung hijau bercorak manis duduk di sofa yang
berhadapan dengan sofa tempatku duduk. Masih satu meja. Ia tersenyum manis
sekali kepadaku. Ini kan vocalis The Dreamer tadi, batinku. Tapi ternyata
wajahnya tidak asing di benakku. Sebelumnya aku pernah melihatnya, tapi entah
kapan, dimana, dan siapa dia.
Gadis
itu menjulurkan tangannya ke arahku mengajak bersalaman.
‘ Aduh
Surya lupa sama gue.’ Kata gadis itu. Kuterima salamnya. Tangan yang lembut.
‘Siapa
ya, pernah lihat kok,’ balasku dengan mengembalikan senyumannya seribu kali
lebih manis.
‘Tebak
dulu,’ ia sempurna duduk di depanku dan menaruh ponselnya diatas meja kami.
‘Ah!
Mira!’ aku sempurna mengingatnya
‘Pernah
kenal dimana mas?’ goda Mira.
‘Temen
SD gue dulu! Lu kan bendahara waktu kelas enem yang nangis-nangis di depan gue
gara-gara duit kelas ilang dicolong orang, kan?’ ingatan itu sukses membuatku
tertawa terbahak-bahak.
‘Yang
itu aja lu masih inget, Sur,’ kata Mira dengan muka melasnya.
‘Eh lu
apa kabar, Mir?’ Bertemu teman lama memang selalu seru. Terlebih dengan cara
yang tidak pernah kita duga.
‘Ya
gini, lu barusan lihat gue nyanyi, kan?’ Mira mengangkat tangannya memberi kode
kepada pelayan untuk datang. ‘Lu sendiri kemana aja, hilang berapa tahun. Gak
ada kabar, anak-anak juga gak ada yang tahu lu dimana. Bahkan Wildan sendiri
yang dulu satu sekolah sama lu gak tau.’
Aku
suka sekali ternyata ada orang yang segitu kangennya sama gue.
‘Tapi
sejak kapan lu jadi suka nyanyi? Perasaan dulu lu Cuma bisa narsis doang di
Instagram,’ wajah Mira kesal sekali seperti ingin melempari mukaku dengan arang
yang membara di bar. ‘Gue ikut bokap, Mir. Pindah kerja ke Finlandia. Tapi
sekarang udah balik kesini kok,’ aku menutup notebook ‘eh tulisin jamur crispy
bakar ya. Pedes!’
Mira
memberikan kertas pesanan itu kembali ke pelayan yang masih setia berdiri disamping
kami. Kemudian ia merapihkan kerudung hijaunya yang sedikit miring.
‘Ke
Finlandia? Gak tamat dong sekolah lu disini?’
Sekarang Mira menaruh kepalanya diatas kedua tangan, seakan serius
sekali ingin mendengarkan. Aku lebih serius memperhatikan mukanya. Manis
sekali, bener-bener berubah setelah sepuluh tahun nggak ketemu.
‘Iya
sih, gue nglanjutin SMA di sono. Tapi seru, kok.’ Jawabku datar ‘Eh lu gimana ceritanya bisa jadi vocalis
band Jazz gitu?’ tagihku atas pertanyaan yang belum Mira jawab.
Mas
pelayannya sudah balik lagi, tangannya penuh membawa seporsi besar roasted
cheesy jadah pesanan Mira dan jamur crispy bakar ekstra pedasku.
‘Makasih
ya mas!’ ujar Mira kepada Sugi, begitu namanya tertulis di namebadge yang
ditempel di seragamnya ‘Panjang Ceritanya, yakin mau nyimak?’ Mira
memotong-motong jadahnya. Aku mengangguk selagi memasukkan jamur kedalam mulut
dan mengunyahnya.
“Lu
masih inget nggak? Dulu waktu gue masih kelas sembilan, lu pernah ngasih gue
kuisioner gitu. Kata lu sih mau buat hipotesis, gak ngerti deh gue. Dan di
kolom hobi, gue kosongin!” Mira tertawa sendiri dengan jawabannya dan melahap
perlahan jadahnya. Aku mencoba
mengingat-ingat hal itu.
“Emang
pernah, yak?” aku pura-pura serius mikir. Sekarang giliran aku yang menaruh kepala
diatas dua jempolku. Serius mendengarkannya. Sementara kita berdua mulai asik
ngobrol, mang udin melantunkan lagu-lagu lain dengan aransemen versinya.
Beberapa kali terlihat mbak ati, istrinya juga ikut naik panggung dan bernyanyi
bersama. “Trus trus?” aku semakin tertarik dengan cerita Mira.
“Waktu
lu tanya kenapa kolomnya dikosongin, gw bilang gw gak punya hobi, apalagi
bakat,” Mira memandang jauh keluar kaca “tapi lu bilang, kita nggak mungkin
nggak punya bakat sama sekali,” tangannya gemetaran menaikkan cangkir hot
chocholate ke arah bibirnya “Mungkin Cuma karena bakat gw masih terpendam, dan
tugas gw adalah mencarinya. Karena Tuhan Adil. Ia menyelipkan suatu yang lebih
di setiap kepala kita.”
“Di
dada kita juga,” tambahku
“Kalo
lo tau, sejak saat itu, gw selalu mikir ternyata perkataan lo ada benarnya
juga. Hampir empat belas tahun gw hidup saat itu kok rasanya kosong banget, ya.
Hidup gw begitu normal, Cuma antara rumah dan sekolah. Tanpa ada aktivitas
berarti yang lainnya.” Mira tertunduk memainkan jemarinya, lalu memperbaiki lekukan
kerudungnya menjadi oval telur.
Bersambung......
Bersambung......
Comments
Post a Comment