Skip to main content

Pekat ~Part 1

            Hujan yang mengguyur kota sejak satu jam terakhir semakin menjadi-jadi dan belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berhenti. Suhu udara malam yang sewajarnya hanya turun sampai ke titik dua puluh derajat celcius tampaknya lebih rendah untuk malam hari ini. Boyolali semakin mendekati puncak musim dingin tahun ini. Aku menaikkan resleting jumper hijau tosca yang kukenakan. Menyeruput kopi, dan memeluk kakiku sendiri yang kunaikkan ke atas sofa semakin erat. Jarum jam di tanganku menunjukkan hampir pukul sepuluh tiga puluh. Mungkin kali ini, lagi-lagi aku akan meninggalkan kedai wedang anget milik mang udin yang buka sampai pukul tiga subuh ini lewat dini hari.
Jangan salah, walaupun hanya menyediakan wedang anget dan jajanan ringan khas jawa tengah, kedai ini memiliki desain interior dan eksterior yang begitu menawan. Dari luar, orang akan lebih percaya kalau kedai ini adalah salah satu cabang franchise coffee shop milik asing. Saat masuk kedalam, suasana akan berubah derastis menjadi kafe dengan pencahayaan yang sempurna dari perpaduan lampu kuning dan putih di langit-langit kedai. Setiap malam, mang udin rutin memanggil grup band jazz lokal untuk menghangatkan suasana kedainya  selepas isya’ sampai kedai tutup.
                Malam ini giliran The Dreamer yang diundang mang udin ke kedainya. Baru kusadari kalau ternyata vocalis The Dreamer berhijab. Tepat saat mereka memulai secret admirer-nya mocca, kilatan cahaya halilintar mengagetkan pengunjung kedai yang sedikit ramai malam itu. Semuanya bersiap untuk suara menggelegarnya.
Aku menikmati hujan dari sofa yang aku tempati. Memandang jauh jutaan butiran air terjun bebas dari langit melalui dinding kaca kedai disamping sofaku. Kuusap embunnya untuk mendapat pemandangan lebih dari luar. Meskipun hujan badai begini, ternyata jalan raya masih ramai juga dengan mobil-mobil yang melintasi jalan provinsi. Lampu-lampu mobil itu terlihat indah menyusuri jalanan dari kedai yang lokasinya naik sedikit diatas bukit ini.
                Hampir jam dua belas malam. Hujan mulai sedikit reda. Tapi aku masih belum ingin beranjak dari tempat ini. Jemariku masih asik beradu dengan keyboard notebook sambil sesekali menyeruput cangkir kopi keduaku. ditengah gemelutuk pertarungan jemariku dan keyboard, The Dreamer turun dari panggung, pengunjung yang duduk di depan bar melongo. Juga mereka yang duduk di sofa. Biasanya band jazz yang diundang hanya akan turun saat jam main mereka selesai. Bahkan minum wedang jahe atau ngemil kacang godhok pun biasanya mereka tetap diatas panggung sambil diselingi ngobrol dengan pengunjung.
                Tiba-tiba saja lampu didalam kedai mati. Suasana menjadi gelap seketika dan pengunjung mengeluh kecewa. Termasuk aku. Sialan. Untung notebookku sudah memakai teknologi penyimpanan energi. Namanya baterai


                ‘Mang! Lampune matek!!’ teriak pangestu yang duduk diatas bangku tinggi didepan bar
                Suasana kedai yang tadinya penuh kenikmatan menyimak alunan jazz sekarang menjadi sedikit riuh. Suara cangkir dipukul dengan sendok teh terdengar dari seluruh sudut kedai.
                Kulirik jam tangan di pergelanganku. Tengah malam lewat dua menit. Ah benar saja. 26 september! Tentunya hari ini adalah hari yang spesial buat mang udin. Karena 26 september adalah hari jadi Kedai Hijau ini. Kejau alias kedai hijau mang udin dirikan sepuluh tahun yang lalu bersama istrinya. Mang udin memulai usahanya dengan angkringan di jalan perintis kemerdekaan.
                Kemudian lampu putih panggung kembali terang di tengah kegelapan kedai saat itu. Mang udin sudah duduk diatas salah satu bangku tinggi di panggung. Lengkap dengan sebuah gitar Yamaha lawas miliknya.
                ‘Assalamu’alaikum!’ sapa mang udin diiringi genjrengan asal
                Para pengunjung menjawab salam itu sambil tertawa tak tahan melihat gaya mang udin yang biasanya hanya mengenakan celemek ala barista.
                ‘ini udah masuk 26 september, kan?’ tanyanya lucu sambil nyengir memperlihatkan salah satu gigi hitamnya.
                Tanpa basa-basi, mang udin memainkan selamat ulang tahun-nya Jamrud dengan aransemen jazz nya sendiri. Nggak ada yang menyangka mang udin bisa sehebat itu memainkan gitar dan membawakan sebuah lagu. Lampu-lampu kedai kembali menyala indah seperti biasa. aku tersenyum manis. Luar biasa. Beberapa pengunjung mulai mengabadikan permainan mang udin dengan kamera ponsel mereka sambil terangguk-angguk mengikuati alunan gitar.
                Memasuki interlude,  mang udin melambatkan tempo gitarnya.
                ‘Malam ini semuanya gratis.’ Kata mang udin, masih tetap memainkan gitar.
                Pengunjung bersorak bahagia sekali. Terlebih aku yang sudah menghabiskan dua cangkir kopi dan banyak gorengan. Pegawai mang udin di bar juga tampak senang, dan tentunya sibuk melayani pesanan tambahan. Pastinya mereka dapat bonus khusus.
                Tanpa kusadari, seorang gadis dengan kerudung hijau bercorak manis duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa tempatku duduk. Masih satu meja. Ia tersenyum manis sekali kepadaku. Ini kan vocalis The Dreamer tadi, batinku. Tapi ternyata wajahnya tidak asing di benakku. Sebelumnya aku pernah melihatnya, tapi entah kapan, dimana, dan siapa dia.
                Gadis itu menjulurkan tangannya ke arahku mengajak bersalaman.
                ‘ Aduh Surya lupa sama gue.’ Kata gadis itu. Kuterima salamnya. Tangan yang lembut.
                ‘Siapa ya, pernah lihat kok,’ balasku dengan mengembalikan senyumannya seribu kali lebih manis.
                ‘Tebak dulu,’ ia sempurna duduk di depanku dan menaruh ponselnya diatas meja kami.
                ‘Ah! Mira!’ aku sempurna mengingatnya
                ‘Pernah kenal dimana mas?’ goda Mira.
                ‘Temen SD gue dulu! Lu kan bendahara waktu kelas enem yang nangis-nangis di depan gue gara-gara duit kelas ilang dicolong orang, kan?’ ingatan itu sukses membuatku tertawa terbahak-bahak.
                ‘Yang itu aja lu masih inget, Sur,’ kata Mira dengan muka melasnya.
                ‘Eh lu apa kabar, Mir?’ Bertemu teman lama memang selalu seru. Terlebih dengan cara yang tidak pernah kita duga.
                ‘Ya gini, lu barusan lihat gue nyanyi, kan?’ Mira mengangkat tangannya memberi kode kepada pelayan untuk datang. ‘Lu sendiri kemana aja, hilang berapa tahun. Gak ada kabar, anak-anak juga gak ada yang tahu lu dimana. Bahkan Wildan sendiri yang dulu satu sekolah sama lu gak tau.’
                Aku suka sekali ternyata ada orang yang segitu kangennya sama gue.
                ‘Tapi sejak kapan lu jadi suka nyanyi? Perasaan dulu lu Cuma bisa narsis doang di Instagram,’ wajah Mira kesal sekali seperti ingin melempari mukaku dengan arang yang membara di bar. ‘Gue ikut bokap, Mir. Pindah kerja ke Finlandia. Tapi sekarang udah balik kesini kok,’ aku menutup notebook ‘eh tulisin jamur crispy bakar ya. Pedes!’
                Mira memberikan kertas pesanan itu kembali ke pelayan yang masih setia berdiri disamping kami. Kemudian ia merapihkan kerudung hijaunya yang sedikit miring.
                ‘Ke Finlandia? Gak tamat dong sekolah lu disini?’  Sekarang Mira menaruh kepalanya diatas kedua tangan, seakan serius sekali ingin mendengarkan. Aku lebih serius memperhatikan mukanya. Manis sekali, bener-bener berubah setelah sepuluh tahun nggak ketemu.
                ‘Iya sih, gue nglanjutin SMA di sono. Tapi seru, kok.’ Jawabku datar  ‘Eh lu gimana ceritanya bisa jadi vocalis band Jazz gitu?’ tagihku atas pertanyaan yang belum Mira jawab.
                Mas pelayannya sudah balik lagi, tangannya penuh membawa seporsi besar roasted cheesy jadah pesanan Mira dan jamur crispy bakar ekstra pedasku.
                ‘Makasih ya mas!’ ujar Mira kepada Sugi, begitu namanya tertulis di namebadge yang ditempel di seragamnya ‘Panjang Ceritanya, yakin mau nyimak?’ Mira memotong-motong jadahnya. Aku mengangguk selagi memasukkan jamur kedalam mulut dan mengunyahnya.
                “Lu masih inget nggak? Dulu waktu gue masih kelas sembilan, lu pernah ngasih gue kuisioner gitu. Kata lu sih mau buat hipotesis, gak ngerti deh gue. Dan di kolom hobi, gue kosongin!” Mira tertawa sendiri dengan jawabannya dan melahap perlahan jadahnya.  Aku mencoba mengingat-ingat hal itu.
                “Emang pernah, yak?” aku pura-pura serius mikir. Sekarang giliran aku yang menaruh kepala diatas dua jempolku. Serius mendengarkannya. Sementara kita berdua mulai asik ngobrol, mang udin melantunkan lagu-lagu lain dengan aransemen versinya. Beberapa kali terlihat mbak ati, istrinya juga ikut naik panggung dan bernyanyi bersama. “Trus trus?” aku semakin tertarik dengan cerita Mira.
                “Waktu lu tanya kenapa kolomnya dikosongin, gw bilang gw gak punya hobi, apalagi bakat,” Mira memandang jauh keluar kaca “tapi lu bilang, kita nggak mungkin nggak punya bakat sama sekali,” tangannya gemetaran menaikkan cangkir hot chocholate ke arah bibirnya “Mungkin Cuma karena bakat gw masih terpendam, dan tugas gw adalah mencarinya. Karena Tuhan Adil. Ia menyelipkan suatu yang lebih di setiap kepala kita.”
                “Di dada kita juga,” tambahku

                “Kalo lo tau, sejak saat itu, gw selalu mikir ternyata perkataan lo ada benarnya juga. Hampir empat belas tahun gw hidup saat itu kok rasanya kosong banget, ya. Hidup gw begitu normal, Cuma antara rumah dan sekolah. Tanpa ada aktivitas berarti yang lainnya.” Mira tertunduk memainkan jemarinya, lalu memperbaiki lekukan kerudungnya menjadi oval telur.

Bersambung......

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...