.....api kenapa isi chating itu ngomongin soal, mira?.....
“Baca yang bawah, lu pernah jatuh
cinta sama Mira, Sur. Lu kira Mira nggak nanggepin, kan? Setau gue, lu keburu
hilang duluan,” terang Shila, hatiku sedikit tak tenang. Penjelasan darinya
membuatku sedikit merasa ada yang mengganjal didalam dada. Kenangan-kenangan
itu diputar didalam kepalaku. Muka Mira bertahun-tahun lalu, gayanya yang
pemalu tapi cerewet, kerudungnya yang selalu berlekukan di sebelah kanan atas,
senyum paling manis sedunia miliknya, dan yang lainnya, berjalan seperti film
paling mengharukan didalam benak, dan dadaku. Untuk beberapa saat, aku melamun
memandangi layar handphone itu.
Shila menarik paksa kembali
handphonenya, menggeser layar, lalu memberikannya kepadaku lagi. “Lihat, dan lo
pernah berjanji nggak akan pernah punya pacar. Lo Cuma mau suatu hari nanti, lo
bakal dateng langsung ke bokapnya Mira,” Shila dan Ragil ketawa lagi. Aku diam
tanpa ekspresi. “Nyalon,” tambah Ragil tersenyum.
Dahiku masih mengerut, mengerucut
kebawah, membuat kedua alisku hampir tersambung. Sulit percaya. “Ini beneran
dulu gw pernah bilang kaya gitu?”
Shila mengangguk yakin sekali.
“ScreenShoot selalu jujur, Sur. Haha”
Aku mulai ingat. Bisa-bisanya aku
ngomong kaya gitu, ya. Sejak kapan aku bisa jatuh cinta sama Mira. Apa sekarang
rasa itu masih ada? Kalaupun iya, apakah Mira punya perasaan yang sama? Hatiku
Gundah.
“Sekarang perasaannya gimana, Sur,”
tanya Ragil, menggigit satai ususnya.
“Berantakan. Bingung,” Jawabku
tanpa ekspresi. Kupandangi jalanan jauh dari kaca
disampingku.
“Tapi
kenapa gue lupa pernah janji kaya gitu?” tanyaku pada Shila.
“Udah
ganti pacar berapa kali lu sampai sekarang?” Shila bertanya balik kepadaku. Aku
menggeleng. Bahkan belum pernah sekalipun sampai dua puluh empat tahun ini. “Udah
ada orang yang mau lo datengin bokapnya?” Tanyanya lagi. Aku kembali
menggeleng. Belum juga.
“Lo
belum lupa, Sur, justru itu bukti kalo lo bener-bener berjanji. Janji lo udah
terpatri, tersimpul mati didalam hati kecilmu. Alam bawah sadarmu menepati
janji itu. Tanpa lo sadari sama sekali.”
***
Aku sempurna mengingatnya. Malam
itu setelah pulang Reuni ke-tiga, aku tak bisa tidur menatap langit-langit, ada
satu wajah yang begitu membekas. Rekaman senyumnya sangat merasuk dan meresap
didalam dadaku. Aku suka sekali melihat wajah dan tawanya. Aku sangat antusias
mendengar cerita-ceritanya. Wajah yang dulu tak lain hanya seperti sup tanpa
garam.Namun sejak bertemu lagi dengannya, setelah kembali berkomunikasi lewat
jejaring sosial, aku yakin, ia bagai masakan paling lezat yang pernah mampir ke
lidahku. Apa ini yang orang bilang kalau cinta bisa merubah air laut menjadi
manis? Wajah siapa kalu bukan Punya Mira. Aku jatuh cinta padanya. Buru-buru
kubuka laptop, mencari nama Shila di daftar kontak, dan menjelaskan semuanya.
Shila sangat mengerti tentang perasaan yang tertuju pada sahabat karibnya ini.
Dan malam itu, aku berjanji sebagai seorang petarung. Aku harus bisa menjalani sisa
hidupku dengan Mira. Perasaan itu membanjiri hatiku. Cinta yang amat pekat
sekali.
“Setelah ketemu kemaren, Mira
langsung ngobrol panjang sama lu?” kata Shila memandangku serius.
“Lumayan sih, lebih banyak dia
yang cerita. Apalagi cerita gimana dia bisa jadi vocalist gara-gara gue.”
Jawabku. Aku mencoba menenangkan diri dengan meminum kopiku yang mulai dingin.
Kemudian memakan jamur crispy lagi. Semoga sesuatu yang pedas bisa sedikit
memperbaiki suasana hati.
“Mira sempet gemeteran gitu gak
waktu cerita sama lo?” kini febri yang bertanya
Aku mengangguk. Iya.
“Sering salah tingkah?” Shila
balik bertanya. Mereka berdua jadi seperti bos besar dan aku calon pegawai yang
sedang diwawancara. Atau aku seperti seorang anak kecil yang barusan jatuh dari
sepeda dan semua orang bertanya bagaimana rasanya.
“Kalo beberapa kali merapihkan
kerudung padahal sudah rapih lo anggap salah satu dari salah tingkah, maka
iya.” Jawabku menatap Shila serius. Meneguk habis kopi. Bahkan sampi
ampas-ampasnya
“Dia Habis berapa gelas minuman?”
duh, kan bener mereka udah kaya wartawan dan gue tersangka kasus korupsi
puluhan triliyun.
“Satu cangkir minuman apa gw
lupa. Satu porsi besar cheesy chocholate jadah. Banyak gelas air putih, puas?”
jawab gw kesel
“Lu punya nomer HP mira?” Shila
masih nanya lagi
Kukeluarkan tissue bertuliskan
nomor cantik yang masih kusimpan didalam tas
“Matanya Gimana?”
“Keren banget, kaya berlian. Kita
beberapa kali kontak mata.”
“Dan lu anggap diantara kalian nggak
ada apa-apa, gitu?” Ragil sampai meamajukkan kepalanya
Aku mengangkat bahu. Entahlah.
“BEGO’!!!!” semprot kedua orang
yang duduk didepanku itu. Masih saja kencang sekali. Bikin malu. Aku memundurkan
kepala. Emangnya kenapa.
“Lu harus banyak belajar soal
cewek, Sur. Itu berarti ada yang Mira pendam dalam-dalam disitu,” kata Ragil
sambil menunjuk dadaku. Iya juga kali, ya, kenapa gue bisa secuek itu merasakan
bahasa tubuhnya yang sebenarnya sudah sangat jelas menerangkan sesuatu.
Tiba-tiba badanku terasa tidak
nyaman. Sisa Jamur Crispy diatas piring jadi terasa hambar. AC didalam ruangan
tidak lagi terasa dingin. Keringat dingin mengalir membasahi keningku. Mungkin benar
kata orang kalo yang ada didalam dada kita lagi nggak sehat, semuanya jadi
berantakan, susah dikendalikan. Aku permisi pulang duluan meninggalkan Ragil
dan Shila. Semoga mereka berdua mau berbaik hati membayarkan pesananku.
****
Siang itu aku baru saja
menyelesaikan mandi pagi, sekalian dijamak taqdim dengan mandi sore. Baru saja
bangun tepat saat adzan dzuhur berkumandang karena tidak bisa tidur semalaman. Beban
di hati dan kepala sering kali tidak mengizinkan tubuh kita untuk tidur nyenyak.
Tetap berusaha ber-energi positif
walaupun sebenarnya suasana hati sedang kacau sekali. Ternyata perasaan
pekat itu masih ada, tersimpan rapih dan masih terasa ‘manis’. Aku mencoba
memperbaiki senyum didepan kaca yang menempel diatas tembok kamar sambil
mengacak-acak handuk diatas rambut. Walaupun lagi sedih, harus tetep kelihatan
oke.
Belum selesai aku mengenakan kaos
dengan sempurna, Handphone yang kuletakkan diatas ranjang bergetar manja. Telepon
masuk. Hanya urutan nomor acak, tanpa nama.
“Halo, siapa y....”
“Surya! Kita ketemu sekarang di
Kejau!” Belum sempat aku selesai bertanya siapa, sang penelpon sudah
menyelesaikan perintahnya. Tapi suaranya tidak asing. Shila.
“Hah? Ngapain Shil? Kejau buka
jam lima sore kali.”
“Oh, iya ya?” Dasar bego’, batinku.
“Ya udah, setelah maghrib. Penting banget!” Shila merevisi perintahnya.
“Hah? Ada apa, sih?”
“Gak usah banyak tanya, pokoknya
dateng aja.”
“Iya, bu,” jawabku melas
Tut.. tut.. tut.. telepon diputus
secara sepihak.
Sebenarnya aku malas sekali
meninggalkan rumah. Tapi kalau ke Kejau mungkin oke. Semoga suasananya bisa
sedikit merapihkan kondisi hatiku. Aku datang setelah isya’, sengaja
menerlambatkan diri biar bisa langsung menikmati band jazz lokal yang mang udin
undang.
Pintu kaca dengan gagang besi itu
kubuka. Udara sejuk dari pendingin udara didalam Kejau mengelus-elus wajahku
lembut. Kuputar kepala kekanan dan ke kiri, mencari dimana Shila duduk. Dari
jauh, seorang pria melambaikan tangannya kepadaku. Ternyata Shila dateng bareng
Ragil. Lagi. Dan duduk ditempat yang sama saat kita bertemu kemarin. Lagi. Dengan
senyum yang pastinya sangat mempesona, aku menghampiri mereka, menyalami dua
orang itu, duduk nyaman sekali diatas sofa.
Shila melemparkan sebuah benda
berwarna merah hati kedepanku. Tipis, tapi lumayan tebal. Tampaknya berkulitkan
beludru. Ekslusif sekali, sepertinya daftar menu Kejau tidak pernah semewah
ini.
Kutatap Shila dan Ragil yang
masih membisu sejak aku datang. Mereka mengangguk takzim.
Setelah kuraba ternyata benar,
beludru. Ada seikat pita merah muda yang menempel pada benda itu. Bukan main,
aku terkejut setelah membalik benda yang ternyata adalah sebuah undangan itu. Ada
dua muka yang sangat tidak asing bagiku dibagian depannya. Ya tuhan, tolong,
jangan. Buru-buru kusobek pita yang menyegelnya. Kulihat isi undangan itu. Seketika
aku tidak merasakan jantungku berdetak lagi. Tertahan. Tidak ada udara yang
masuk dari hidung menyegarkan paru-paru. Hatiku kacau sekali, lebih berantakan
dibandingkan kemarin saat aku berpamitan pulang meninggalkan Kejau kepada Ragil
dan Shila. Kucermati ulang dengan mengeja huruf-huruf yang tertulis indah
didalam undangan itu. Wah-yu Pur-na-ma... Mi-ra Ha-zi-za
Kukembalikan benda itu keatas
meja. Jemariku bergetar hebat. Kemudian menjalar ke kaki. Mataku berkunang-kunang.
Kepala terasa pening. Aku sempurna kehilangan kontrol tubuhku. Rebah diatas
sofa. Pandangku kosong.
Masih bersambung lagi..
Masih bersambung lagi..
Comments
Post a Comment