Skip to main content

Pekat ~part 3

.....api kenapa isi chating itu ngomongin soal, mira?.....


“Baca yang bawah, lu pernah jatuh cinta sama Mira, Sur. Lu kira Mira nggak nanggepin, kan? Setau gue, lu keburu hilang duluan,” terang Shila, hatiku sedikit tak tenang. Penjelasan darinya membuatku sedikit merasa ada yang mengganjal didalam dada. Kenangan-kenangan itu diputar didalam kepalaku. Muka Mira bertahun-tahun lalu, gayanya yang pemalu tapi cerewet, kerudungnya yang selalu berlekukan di sebelah kanan atas, senyum paling manis sedunia miliknya, dan yang lainnya, berjalan seperti film paling mengharukan didalam benak, dan dadaku. Untuk beberapa saat, aku melamun memandangi layar handphone itu.
Shila menarik paksa kembali handphonenya, menggeser layar, lalu memberikannya kepadaku lagi. “Lihat, dan lo pernah berjanji nggak akan pernah punya pacar. Lo Cuma mau suatu hari nanti, lo bakal dateng langsung ke bokapnya Mira,” Shila dan Ragil ketawa lagi. Aku diam tanpa ekspresi. “Nyalon,” tambah Ragil tersenyum.
Dahiku masih mengerut, mengerucut kebawah, membuat kedua alisku hampir tersambung. Sulit percaya. “Ini beneran dulu gw pernah bilang kaya gitu?”
Shila mengangguk yakin sekali. “ScreenShoot selalu jujur, Sur. Haha”
Aku mulai ingat. Bisa-bisanya aku ngomong kaya gitu, ya. Sejak kapan aku bisa jatuh cinta sama Mira. Apa sekarang rasa itu masih ada? Kalaupun iya, apakah Mira punya perasaan yang sama? Hatiku Gundah.
“Sekarang perasaannya gimana, Sur,” tanya Ragil, menggigit satai ususnya.
“Berantakan. Bingung,” Jawabku tanpa ekspresi. Kupandangi jalanan jauh dari kaca
disampingku.
                “Tapi kenapa gue lupa pernah janji kaya gitu?” tanyaku pada Shila.
                “Udah ganti pacar berapa kali lu sampai sekarang?” Shila bertanya balik kepadaku. Aku menggeleng. Bahkan belum pernah sekalipun sampai dua puluh empat tahun ini. “Udah ada orang yang mau lo datengin bokapnya?” Tanyanya lagi. Aku kembali menggeleng. Belum juga.
                “Lo belum lupa, Sur, justru itu bukti kalo lo bener-bener berjanji. Janji lo udah terpatri, tersimpul mati didalam hati kecilmu. Alam bawah sadarmu menepati janji itu. Tanpa lo sadari sama sekali.”
***
Aku sempurna mengingatnya. Malam itu setelah pulang Reuni ke-tiga, aku tak bisa tidur menatap langit-langit, ada satu wajah yang begitu membekas. Rekaman senyumnya sangat merasuk dan meresap didalam dadaku. Aku suka sekali melihat wajah dan tawanya. Aku sangat antusias mendengar cerita-ceritanya. Wajah yang dulu tak lain hanya seperti sup tanpa garam.Namun sejak bertemu lagi dengannya, setelah kembali berkomunikasi lewat jejaring sosial, aku yakin, ia bagai masakan paling lezat yang pernah mampir ke lidahku. Apa ini yang orang bilang kalau cinta bisa merubah air laut menjadi manis? Wajah siapa kalu bukan Punya Mira. Aku jatuh cinta padanya. Buru-buru kubuka laptop, mencari nama Shila di daftar kontak, dan menjelaskan semuanya. Shila sangat mengerti tentang perasaan yang tertuju pada sahabat karibnya ini. Dan malam itu, aku berjanji sebagai seorang petarung. Aku harus bisa menjalani sisa hidupku dengan Mira. Perasaan itu membanjiri hatiku. Cinta yang amat pekat sekali.

“Setelah ketemu kemaren, Mira langsung ngobrol panjang sama lu?” kata Shila memandangku serius.
“Lumayan sih, lebih banyak dia yang cerita. Apalagi cerita gimana dia bisa jadi vocalist gara-gara gue.” Jawabku. Aku mencoba menenangkan diri dengan meminum kopiku yang mulai dingin. Kemudian memakan jamur crispy lagi. Semoga sesuatu yang pedas bisa sedikit memperbaiki suasana hati.
“Mira sempet gemeteran gitu gak waktu cerita sama lo?” kini febri yang bertanya
Aku mengangguk. Iya.
“Sering salah tingkah?” Shila balik bertanya. Mereka berdua jadi seperti bos besar dan aku calon pegawai yang sedang diwawancara. Atau aku seperti seorang anak kecil yang barusan jatuh dari sepeda dan semua orang bertanya bagaimana rasanya.
“Kalo beberapa kali merapihkan kerudung padahal sudah rapih lo anggap salah satu dari salah tingkah, maka iya.” Jawabku menatap Shila serius. Meneguk habis kopi. Bahkan sampi ampas-ampasnya
“Dia Habis berapa gelas minuman?” duh, kan bener mereka udah kaya wartawan dan gue tersangka kasus korupsi puluhan triliyun.
“Satu cangkir minuman apa gw lupa. Satu porsi besar cheesy chocholate jadah. Banyak gelas air putih, puas?” jawab gw kesel
“Lu punya nomer HP mira?” Shila masih nanya lagi
Kukeluarkan tissue bertuliskan nomor cantik yang masih kusimpan didalam tas
“Matanya Gimana?”
“Keren banget, kaya berlian. Kita beberapa kali kontak mata.”
“Dan lu anggap diantara kalian nggak ada apa-apa, gitu?” Ragil sampai meamajukkan kepalanya
Aku mengangkat bahu. Entahlah.
“BEGO’!!!!” semprot kedua orang yang duduk didepanku itu. Masih saja kencang sekali. Bikin malu. Aku memundurkan kepala. Emangnya kenapa.
“Lu harus banyak belajar soal cewek, Sur. Itu berarti ada yang Mira pendam dalam-dalam disitu,” kata Ragil sambil menunjuk dadaku. Iya juga kali, ya, kenapa gue bisa secuek itu merasakan bahasa tubuhnya yang sebenarnya sudah sangat jelas menerangkan sesuatu.
Tiba-tiba badanku terasa tidak nyaman. Sisa Jamur Crispy diatas piring jadi terasa hambar. AC didalam ruangan tidak lagi terasa dingin. Keringat dingin mengalir membasahi keningku. Mungkin benar kata orang kalo yang ada didalam dada kita lagi nggak sehat, semuanya jadi berantakan, susah dikendalikan. Aku permisi pulang duluan meninggalkan Ragil dan Shila. Semoga mereka berdua mau berbaik hati membayarkan pesananku.
****
Siang itu aku baru saja menyelesaikan mandi pagi, sekalian dijamak taqdim dengan mandi sore. Baru saja bangun tepat saat adzan dzuhur berkumandang karena tidak bisa tidur semalaman. Beban di hati dan kepala sering kali tidak mengizinkan tubuh kita untuk tidur nyenyak. Tetap berusaha ber-energi positif  walaupun sebenarnya suasana hati sedang kacau sekali. Ternyata perasaan pekat itu masih ada, tersimpan rapih dan masih terasa ‘manis’. Aku mencoba memperbaiki senyum didepan kaca yang menempel diatas tembok kamar sambil mengacak-acak handuk diatas rambut. Walaupun lagi sedih, harus tetep kelihatan oke.
Belum selesai aku mengenakan kaos dengan sempurna, Handphone yang kuletakkan diatas ranjang bergetar manja. Telepon masuk. Hanya urutan nomor acak, tanpa nama.
“Halo, siapa y....”
“Surya! Kita ketemu sekarang di Kejau!” Belum sempat aku selesai bertanya siapa, sang penelpon sudah menyelesaikan perintahnya. Tapi suaranya tidak asing. Shila.
“Hah? Ngapain Shil? Kejau buka jam lima sore kali.”
“Oh, iya ya?” Dasar bego’, batinku. “Ya udah, setelah maghrib. Penting banget!” Shila merevisi perintahnya.
“Hah? Ada apa, sih?”
“Gak usah banyak tanya, pokoknya dateng aja.”
“Iya, bu,” jawabku melas
Tut.. tut.. tut.. telepon diputus secara sepihak.
Sebenarnya aku malas sekali meninggalkan rumah. Tapi kalau ke Kejau mungkin oke. Semoga suasananya bisa sedikit merapihkan kondisi hatiku. Aku datang setelah isya’, sengaja menerlambatkan diri biar bisa langsung menikmati band jazz lokal yang mang udin undang.
Pintu kaca dengan gagang besi itu kubuka. Udara sejuk dari pendingin udara didalam Kejau mengelus-elus wajahku lembut. Kuputar kepala kekanan dan ke kiri, mencari dimana Shila duduk. Dari jauh, seorang pria melambaikan tangannya kepadaku. Ternyata Shila dateng bareng Ragil. Lagi. Dan duduk ditempat yang sama saat kita bertemu kemarin. Lagi. Dengan senyum yang pastinya sangat mempesona, aku menghampiri mereka, menyalami dua orang itu, duduk nyaman sekali diatas sofa.
Shila melemparkan sebuah benda berwarna merah hati kedepanku. Tipis, tapi lumayan tebal. Tampaknya berkulitkan beludru. Ekslusif sekali, sepertinya daftar menu Kejau tidak pernah semewah ini.
Kutatap Shila dan Ragil yang masih membisu sejak aku datang. Mereka mengangguk takzim.
Setelah kuraba ternyata benar, beludru. Ada seikat pita merah muda yang menempel pada benda itu. Bukan main, aku terkejut setelah membalik benda yang ternyata adalah sebuah undangan itu. Ada dua muka yang sangat tidak asing bagiku dibagian depannya. Ya tuhan, tolong, jangan. Buru-buru kusobek pita yang menyegelnya. Kulihat isi undangan itu. Seketika aku tidak merasakan jantungku berdetak lagi. Tertahan. Tidak ada udara yang masuk dari hidung menyegarkan paru-paru. Hatiku kacau sekali, lebih berantakan dibandingkan kemarin saat aku berpamitan pulang meninggalkan Kejau kepada Ragil dan Shila. Kucermati ulang dengan mengeja huruf-huruf yang tertulis indah didalam undangan itu. Wah-yu Pur-na-ma... Mi-ra Ha-zi-za

Kukembalikan benda itu keatas meja. Jemariku bergetar hebat. Kemudian menjalar ke kaki. Mataku berkunang-kunang. Kepala terasa pening. Aku sempurna kehilangan kontrol tubuhku. Rebah diatas sofa. Pandangku kosong.

Masih bersambung lagi..

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...