........ “Kalo lo tau, sejak saat itu, gw selalu mikir ternyata perkataan lo ada benarnya juga. Hampir empat belas tahun gw hidup saat itu kok rasanya kosong banget, ya. Hidup gw begitu normal, Cuma antara rumah dan sekolah. Tanpa ada aktivitas berarti yang lainnya.” Mira tertunduk memainkan jemarinya, lalu memperbaiki lekukan kerudungnya menjadi oval telur.......
Hujan sudah benar-benar reda saat ini. Jam di dinding bar
menunjukkan tepat pukul dua. Mang udin sudah selesai dengan permainan gitarnya,
kini ia berbagi suka duka mendirikan kejau kepada para pengunjung lain yang
masih setia. Para pelayan mulai membersihkan meja dan menyapu lantai kedai.
Mereka bersiap menutup kedai.
“Untung
suatu hari gw bertemu Wahyu, gitaris The Dreamer yang lo lihat tadi. Dan kata
dia, suara gw lumayan, gw diajak latihan bareng band bentukannya,” kami
bertatapan sejenak, Mira memandang mataku begitu dalam, bibirnya bergetar.
“Bener aja, ternyata band kita sering menang di banyak festival. Kerudung gw
juga menambah nilai plus band itu. Kita jadi sering manggung buat konser amal,
juga tiap ngamen di caffe kaya gini, kita sisihkan sebagiannya buat nyumbang.
Gw suka banget bikin orang senyum.” Mira tersenyum manis, lagi. Dan menjilat
asik sendok teh rasa coklatnya.
“Gw
udah menemukan sesuatu yang terpendam itu,” kata Mira “Makasih.”
“Kok
makasihnya ke gue?” balasku “Itu karena kemauan lo sendiri kali, Mir. Rasa
penasaran emang sering kali membawa kita kepada suatu pencapaian luar biasa.”
Meja
kami jadi terasa hening sejenak, Mira menghabiskan cheesy chocholate jadahnya.
Aku juga melahap habis sisa jamur crispy dipiringku. Sedikit canggung, bingung
memilih sesuatu untuk diobrolkan.
“lu
sering ke kesini, Mir?” tanyaku mencoba mencairkan suasana.
Mira yang
menunduk memperhatikan piring bekas jadahnya sedikit kaget mendengar
pertanyaanku. Belum sempat ia menjawab, kita lebih kaget mendengar handphonenya
diatas meja berdering. Telepon masuk. Buru-buru ia menerima telpon itu.
Melambai kepadaku memberi kode permisi sebentar. Siapa juga dini hari begini
nelponin orang, dasar.
Lima
menit kemudian Mira kebali ke meja yang kami tempati, dengan kening sedikit
mengkerut. Entah karena terlalu lelah, takut, atau kenapa.
“eeh,
Sur. Gw duluan yah,” ujar Mira tertatih “Ada yang nungguin dirumah, lagian
kedai juga udah mau tutup, kan?” kulirik lagi jam tanganku, benar saja. Pukul
tiga kurang lima belas menit.
“iya,
oke. Mau dianter?” aku juga mengemasi notebook.
Mira
menggeleng , tersenyum. “Makasih, aku bawa mobil kok.”
“Oh,
oke. Mir, bisa ngobrol lagi kan lain kali?” aku bertanya dengan penuh harapan
dijawab iya.
Mira
mengangguk, lagi-lagi dengan senyum manisnya itu. Kemudian ia mengambil
selembar tissue di meja, meraih pena di saku kemeja biru tua yang ia kenakan.
Tangannya cekatan menulis diatas tissue tadi, dan memberikannya kepadaku.
Sebuah urutan nomor tertulis rapi. Aku tersenyum didalam dada. Lama tidak
merasakan perasaan seperti ini, seperti ada mawar yang mekar didalam hati. Mira
melangkah cepat meninggalkan kedai. Sugi dan sapunya menatapku aneh,
senyum-senyum sendiri.
****
Berbanding
terbalik dengan dua hari yang lalu saat terakhir aku datang ke Kejau dan dapat
gratis makan minum karena pas banget lagi hari jadinya, hari ini Boyolali nggak
sedingin biasanya, bahkan aku datang ke Kejau pukul sembilan malam dengan motor
tanpa mengenakan jaket. Berani sekali. Padahal badanku terasa sedikit hangat
malam itu, belum harus memikir sisa-sisa pekerjaan tertunda yang sudah cukup
untuk dibilang menggunung.
Kalau dimalam biasa
saja ramai, terlebih pada malam minggu seperti ini. Banyak pengunjung yang
datang bersama keluarga mereka, tapi tetep aja lebih banyak mereka yang dateng
bareng pasangannya. Memang Kejau pas sekali didatengin sama siapa aja, untuk
keperluan apa saja.
Bukan Cuma saat lapar saja aku
datang kemari. Nggak jarang saat lagi penat, aku seneng banget dateng Cuma
mesen wedang jahe, kemudian asik menikmati band jazz yang diundang mang udin.
Suasana yang Kejau miliki memberikan relaksasi tersendiri. Hampir mirip rasanya
kalau aku dateng ke Kridanggo Square saat kepala lagi sesak. Tapi malam-malam
begini, dateng ke Kridanggo Square yang ada horor banget.
Saking penuhnya di malam minggu
ini, aku nggak kebagian meja dengan sofa, semuanya penuh, walaupun ada beberapa
yang hanya diisi oleh satu orang. Aku terpaksa namun tetap dengan senang hati
mengambil tempat di depan bar. Boleh lah sesekali mencoba suasana baru.
Kulambaikan tanganku kepada mang udin, memberi isyarat pesan kayak biasanya
aja. Susu coklat sama jamur crispy ekstra pedas. Kukeluarkan notebook dari tas,
kemudian kubuka diatas meja bar.
Ternyata mang udin tidak mengundang
band jazz lokal seperti biasanya. Malam ini panggung berukuran sedang didalam
Kejau itu digunakan oleh sebuah komunitas Stand Up Comedy Boyolali untuk
menggelar acara Open Mic. Boleh juga nih. Bener-bener suasana baru. Banyak
kursi lipat juga diatata rapih didepan panggung, untuk Comic sama temen-temen
komunitasnya, kata mang udin.
Bersamaan saat Dino—begitu
namanya tertulis diatas namebadge, menaruh pesananku diatas meja, Comic pertama
naik ke atas panggung. Nampaknya ia bukan sekedar Comic biasa, dengan kaos
hitam dan rompi berbahan jeans ia menjelaskan banyak soal open mic ini kepada
orang-orang yang duduk diatas kursi lipat—yang nampaknya sudah sangat akrab
sekali dengan orang itu. Ternyata ia adalah leader Stand Up Comedy Boyolali.
Setelah menyeruput susu coklat
dan mencocolkan satu jamur ke sambal khasnya, aku mulai asik dengan notebookku.
Banyak tulisan yang harus selesai sebelum hari Senin datang. Semoga Open Mic
dipanggung Kejau tidak terlalu hebat untuk menggodaku menonton dan menumpuk
tugas lagi.
Hampir satu jam lewat setelah
Comic pertama naik, aku tetap berusaha fokus ke notebook, walaupun sebenarnya
beberapa kali aku tak dapat menahan tawa mendengarkan bit-bit yang mereka
keluarkan. Meskipun beberapa diantaranya garing abis.
Kuistirahatkan sejenak jemariku,
kembali mencolek-colek jamur crispy ke sambal dan memasukannya kedalam mulut,
belum habis juga dari tadi, padahal kopi sudah hampir mau manggil pelayan buat
cangkir yang kedua. Saat itu juga seorang lelaki duduk bangku sampingku. Tidak
terlalu kupedulikan, tetap menikmati jamur crispy. Selang beberapa saat
kemudian, seorang wanita berambut lurus se lengan duduk disampingnya. Mereka
asik ngobrol dengan diselingi tawa yang lumayan keras. Aku tetap berusaha sabar
dan tidak perduli meskipun obrolan mereka keras dan terdengar jelas dari
telinga kananku. Kulanjutkan mengetik lagi.
“SURYAAA!!!” sampai teriakan gila
seseorang itu benar-benar memekakkan telingaku. Teriakan dari wanita yang sejak
tadi mengobrol tanpa tahu batasan volume berbicara di tempat umum dengan pria
yang duduk disampingku. Aku menatapnya dengan tatapan ‘ORANG GILA!!!’ Wanita
itu menatapku penuh antusiasme dan senyum lebar sekali sampai memperlihatkan
gigi-giginya
Aku memperhatikan wajahnya lebih
jeli lagi, mengubah fokus, sepertinya kali ini bukan orang asing lagi.
“Shila, ya?” tanyaku ragu,
memastikan kalau yang ada didepanku dan baru saja mengganggu kerjaku adalah
seorang teman lama juga.
Wanita didepanku yang kemungkinan
besar adalah shila itu mengangguk pasti. Mengonfirmasi bahwa dirinya adalah
seratus persen shila.
“Shila temen SD gue dulu? Yang sukanya
sembunyiin HP di sepatu?” aku tertawa, diikuti tawa pria yang datang bersama
Shila. Wajah Shila terlipat mengkerut malu dan kesal sekali. Pria itu
menjulurkan tangannya mengajak bersalaman, lalu turun dari kursinya, memelukku
erat.
“Berapa tahun kita nggak ketemu,
sob! Bisa-bisanya ketemu di tempat ini, ya.” Aku tak tahu siapa dia, maen
peluk-peluk aja. “Lu lupa sama jagoan maen bola di sekolah? Lupas siapa preman
yang paling bisa jajan walaupun lagi bokek? Lupa sama Mas Ragil, hah?” Ya ampun,
Ragil! Temen satu bangku gw dulu waktu SD. Aku makin bingung, dalam waktu
kurang dari tiga kali duapuluh empat jam, aku bertemu dengan tiga teman masa
kecilku ditempat yang sama. Dua hari yang lalu dengan Mira. Hari ini dengan
Shila dan Ragil. Giliran siapa dua hari yang akan datang, seminggu lagi?
Bukan Open Mic yang sepenuhnya
berhasil menggodaku menumpuk tugas untuk dikerjakan besok-besok lagi. Tapi obrolan
hangat dengan teman lama. Seketika badanku terasa sehat kembali. Sedikit stres
memikirkan beban pekerjaan menguap bersama uap kopi keduaku. Tertawa bersama
teman dengan rasa kekeluargaan memang membuat kita selalu baik-baik saja. Seru sekali
bisa bernostalgia bersama mereka berdua. Ragil dan Shila sebentar lagi akan
meresmikan hubungan mereka secara agama dan hukum negara, untung kita bertemu
malam ini. Kalau tidak mungkin aku tidak akan hadir di hari spesial mereka. Sama
seperti Mira, Ragil dan Shila menganggapku hilang dibuang keluar angkasa.
Hampir pukul sepuluh tiga puluh
malam, Stand Up Comedy Boyolali sudah mengakhiri Open Mic mereka, tinggal
diskusi dan evaluasi mereka yang tampaknya seru sekali didepan panggung. Pengunjung
Kedai sedikit berkurang. Ragil menunjuk sebuah meja dengan sofa, memberi
isyarat untuk berpindah kesana. Aku mengangguk setuju, mengangkat notebook. Posisi
yang sempurna sekali, tempat yang sama seperti dua hari yang lalu, saat aku
bertemu dengan Mira.
“Eh lu berdua tau nggak gw ketemu
sama siapa dua hari yang lalu?” kubuka topik obrolan baru setelah lelah
membicarakan masa lalu kami.
“Emang siapa?” tanya Ragil
penasaran, ia menaruh dua cangkir wedang jahe ekstra caramel dan teh panas
diatas meja.
“Vocalist The Dreamer yang manis
banget itu.” Jawabku sedikit mendeskrepsikan Mira.
“Hah? Maksud lo Mira?” Ragil
terkejut, seakan yang ia dengar aku bertemu Michael Jackson.
“Iya lah, siapa lagi.” Aku menutup
notebook dan memasukannya kedalam tas, sedang ingin berbagi dengan teman lama,
nggak ingin diganggu kerjaan. “Dan lo berdua tahu, gimana Mira yang dulu lebih kita
kenal sebagai sosok pemalu bisa jadi penyanyi band jazz yang sering manggung
dan menang festival?”
Ragil dan Shila kompak menggeleng
penasaran
“Katanya gara-gara dulu gw pernah
nanyain hobi dan bakatnya, tapi dia jawab nggak punya sama sekali. Terus gw
kasih tahu Mira kalo pasti dia punya kelebihan yang terpendam. Ternyata gitu,
suaranya kereen banget!” Antusiasku kuat sekali bercerita soal Mira kepada
mereka berdua. “Gw malah baru inget pernah ngomong gitu ke Mira waktu dia
ceritain lagi ke gue kemaren itu, dan bisa-bisanya dia masih inget, setelah
sepuluh tahun nggak ketemu, bahkan sekedar chatting atau,”
“Mira yang lo maksud Mira Haziza
yang tajir gila itu? Sahabat gw banget itu” Shila memotong kalimatku. Barusan
ngerti siapa orang yang gue maksud.
“iya bego’!” balasku kesal
sekali. Shila justru tertawa lebar sekali, sampai-sampai Sugi yang sedang
mengelap meja bar mendengarnya. “Kenape lu, Shil?” tanyaku memastikan dia tidak
gila beneran mendadak. Kan repot kalo ada orang gila di Kedai.
“Tunggu bentar yah,” Shila
mengeluarkan handphone yang pernah ngetop sekali pada zamannya, namun saat ini
sudah dianggap butut sekali dari tasnya, kemudian ia sibuk seperti mencari
sesuatu didalamnya, Ragil memiringkan badan kekanan, ikut memperhatikan layar
sentuh handphone itu. Taik.
Tiba-tiba mereka berdua tertawa
bersamaan, mending kalo ketawanya biasa aja. Heboh banget! Dua orang ini emang
bener-bener bikin malu. Shila menyodorkan Handphonenya kepadaku, menyuruhku
melihat apa yang barusan ia buka. ScreenShoot-Screenshoot tampilan lama
facebook. Hei! Itu kan screenshot chating antara facebook shila dan surya
negara? Yap, facebook ku sendiri, aku cermati apa yang kami obrolkan
bertahun-tahun lalu itu. Aku sudah sempurna lupa.
Tapi kenapa isi chating itu
ngomongin soal, mira?
Bersambung lagi...
Comments
Post a Comment