Skip to main content

Pekat ~Part 2

          ........   “Kalo lo tau, sejak saat itu, gw selalu mikir ternyata perkataan lo ada benarnya juga. Hampir empat belas tahun gw hidup saat itu kok rasanya kosong banget, ya. Hidup gw begitu normal, Cuma antara rumah dan sekolah. Tanpa ada aktivitas berarti yang lainnya.” Mira tertunduk memainkan jemarinya, lalu memperbaiki lekukan kerudungnya menjadi oval telur.......
       
                 Hujan sudah benar-benar reda saat ini. Jam di dinding bar menunjukkan tepat pukul dua. Mang udin sudah selesai dengan permainan gitarnya, kini ia berbagi suka duka mendirikan kejau kepada para pengunjung lain yang masih setia. Para pelayan mulai membersihkan meja dan menyapu lantai kedai. Mereka bersiap menutup kedai.
                “Untung suatu hari gw bertemu Wahyu, gitaris The Dreamer yang lo lihat tadi. Dan kata dia, suara gw lumayan, gw diajak latihan bareng band bentukannya,” kami bertatapan sejenak, Mira memandang mataku begitu dalam, bibirnya bergetar. “Bener aja, ternyata band kita sering menang di banyak festival. Kerudung gw juga menambah nilai plus band itu. Kita jadi sering manggung buat konser amal, juga tiap ngamen di caffe kaya gini, kita sisihkan sebagiannya buat nyumbang. Gw suka banget bikin orang senyum.” Mira tersenyum manis, lagi. Dan menjilat asik sendok teh rasa coklatnya.
                “Gw udah menemukan sesuatu yang terpendam itu,” kata Mira “Makasih.”
                “Kok makasihnya ke gue?” balasku “Itu karena kemauan lo sendiri kali, Mir. Rasa penasaran emang sering kali membawa kita kepada suatu pencapaian luar biasa.”
                Meja kami jadi terasa hening sejenak, Mira menghabiskan cheesy chocholate jadahnya. Aku juga melahap habis sisa jamur crispy dipiringku. Sedikit canggung, bingung memilih sesuatu untuk diobrolkan.
                “lu sering ke kesini, Mir?” tanyaku mencoba mencairkan suasana.
                Mira yang menunduk memperhatikan piring bekas jadahnya sedikit kaget mendengar pertanyaanku. Belum sempat ia menjawab, kita lebih kaget mendengar handphonenya diatas meja berdering. Telepon masuk. Buru-buru ia menerima telpon itu. Melambai kepadaku memberi kode permisi sebentar. Siapa juga dini hari begini nelponin orang, dasar.
                Lima menit kemudian Mira kebali ke meja yang kami tempati, dengan kening sedikit mengkerut. Entah karena terlalu lelah, takut, atau kenapa.
                “eeh, Sur. Gw duluan yah,” ujar Mira tertatih “Ada yang nungguin dirumah, lagian kedai juga udah mau tutup, kan?” kulirik lagi jam tanganku, benar saja. Pukul tiga kurang lima belas menit.
                “iya, oke. Mau dianter?” aku juga mengemasi notebook.
                Mira menggeleng , tersenyum. “Makasih, aku bawa mobil kok.”
                “Oh, oke. Mir, bisa ngobrol lagi kan lain kali?” aku bertanya dengan penuh harapan dijawab iya.
                Mira mengangguk, lagi-lagi dengan senyum manisnya itu. Kemudian ia mengambil selembar tissue di meja, meraih pena di saku kemeja biru tua yang ia kenakan. Tangannya cekatan menulis diatas tissue tadi, dan memberikannya kepadaku. Sebuah urutan nomor tertulis rapi. Aku tersenyum didalam dada. Lama tidak merasakan perasaan seperti ini, seperti ada mawar yang mekar didalam hati. Mira melangkah cepat meninggalkan kedai. Sugi dan sapunya menatapku aneh, senyum-senyum sendiri.
****
                Berbanding terbalik dengan dua hari yang lalu saat terakhir aku datang ke Kejau dan dapat gratis makan minum karena pas banget lagi hari jadinya, hari ini Boyolali nggak sedingin biasanya, bahkan aku datang ke Kejau pukul sembilan malam dengan motor tanpa mengenakan jaket. Berani sekali. Padahal badanku terasa sedikit hangat malam itu, belum harus memikir sisa-sisa pekerjaan tertunda yang sudah cukup untuk dibilang menggunung.
 Kalau dimalam biasa saja ramai, terlebih pada malam minggu seperti ini. Banyak pengunjung yang datang bersama keluarga mereka, tapi tetep aja lebih banyak mereka yang dateng bareng pasangannya. Memang Kejau pas sekali didatengin sama siapa aja, untuk keperluan apa saja.
Bukan Cuma saat lapar saja aku datang kemari. Nggak jarang saat lagi penat, aku seneng banget dateng Cuma mesen wedang jahe, kemudian asik menikmati band jazz yang diundang mang udin. Suasana yang Kejau miliki memberikan relaksasi tersendiri. Hampir mirip rasanya kalau aku dateng ke Kridanggo Square saat kepala lagi sesak. Tapi malam-malam begini, dateng ke Kridanggo Square yang ada horor banget.


Saking penuhnya di malam minggu ini, aku nggak kebagian meja dengan sofa, semuanya penuh, walaupun ada beberapa yang hanya diisi oleh satu orang. Aku terpaksa namun tetap dengan senang hati mengambil tempat di depan bar. Boleh lah sesekali mencoba suasana baru. Kulambaikan tanganku kepada mang udin, memberi isyarat pesan kayak biasanya aja. Susu coklat sama jamur crispy ekstra pedas. Kukeluarkan notebook dari tas, kemudian kubuka diatas meja bar.
Ternyata mang udin tidak mengundang band jazz lokal seperti biasanya. Malam ini panggung berukuran sedang didalam Kejau itu digunakan oleh sebuah komunitas Stand Up Comedy Boyolali untuk menggelar acara Open Mic. Boleh juga nih. Bener-bener suasana baru. Banyak kursi lipat juga diatata rapih didepan panggung, untuk Comic sama temen-temen komunitasnya, kata mang udin.
Bersamaan saat Dino—begitu namanya tertulis diatas namebadge, menaruh pesananku diatas meja, Comic pertama naik ke atas panggung. Nampaknya ia bukan sekedar Comic biasa, dengan kaos hitam dan rompi berbahan jeans ia menjelaskan banyak soal open mic ini kepada orang-orang yang duduk diatas kursi lipat—yang nampaknya sudah sangat akrab sekali dengan orang itu. Ternyata ia adalah leader Stand Up Comedy Boyolali.
Setelah menyeruput susu coklat dan mencocolkan satu jamur ke sambal khasnya, aku mulai asik dengan notebookku. Banyak tulisan yang harus selesai sebelum hari Senin datang. Semoga Open Mic dipanggung Kejau tidak terlalu hebat untuk menggodaku menonton dan menumpuk tugas lagi.
Hampir satu jam lewat setelah Comic pertama naik, aku tetap berusaha fokus ke notebook, walaupun sebenarnya beberapa kali aku tak dapat menahan tawa mendengarkan bit-bit yang mereka keluarkan. Meskipun beberapa diantaranya  garing abis.
Kuistirahatkan sejenak jemariku, kembali mencolek-colek jamur crispy ke sambal dan memasukannya kedalam mulut, belum habis juga dari tadi, padahal kopi sudah hampir mau manggil pelayan buat cangkir yang kedua. Saat itu juga seorang lelaki duduk bangku sampingku. Tidak terlalu kupedulikan, tetap menikmati jamur crispy. Selang beberapa saat kemudian, seorang wanita berambut lurus se lengan duduk disampingnya. Mereka asik ngobrol dengan diselingi tawa yang lumayan keras. Aku tetap berusaha sabar dan tidak perduli meskipun obrolan mereka keras dan terdengar jelas dari telinga kananku. Kulanjutkan mengetik lagi.
“SURYAAA!!!” sampai teriakan gila seseorang itu benar-benar memekakkan telingaku. Teriakan dari wanita yang sejak tadi mengobrol tanpa tahu batasan volume berbicara di tempat umum dengan pria yang duduk disampingku. Aku menatapnya dengan tatapan ‘ORANG GILA!!!’ Wanita itu menatapku penuh antusiasme dan senyum lebar sekali sampai memperlihatkan gigi-giginya
Aku memperhatikan wajahnya lebih jeli lagi, mengubah fokus, sepertinya kali ini bukan orang asing lagi.
“Shila, ya?” tanyaku ragu, memastikan kalau yang ada didepanku dan baru saja mengganggu kerjaku adalah seorang teman lama juga.
Wanita didepanku yang kemungkinan besar adalah shila itu mengangguk pasti. Mengonfirmasi bahwa dirinya adalah seratus persen shila.
“Shila temen SD gue dulu? Yang sukanya sembunyiin HP di sepatu?” aku tertawa, diikuti tawa pria yang datang bersama Shila. Wajah Shila terlipat mengkerut malu dan kesal sekali. Pria itu menjulurkan tangannya mengajak bersalaman, lalu turun dari kursinya, memelukku erat.
“Berapa tahun kita nggak ketemu, sob! Bisa-bisanya ketemu di tempat ini, ya.” Aku tak tahu siapa dia, maen peluk-peluk aja. “Lu lupa sama jagoan maen bola di sekolah? Lupas siapa preman yang paling bisa jajan walaupun lagi bokek? Lupa sama Mas Ragil, hah?” Ya ampun, Ragil! Temen satu bangku gw dulu waktu SD. Aku makin bingung, dalam waktu kurang dari tiga kali duapuluh empat jam, aku bertemu dengan tiga teman masa kecilku ditempat yang sama. Dua hari yang lalu dengan Mira. Hari ini dengan Shila dan Ragil. Giliran siapa dua hari yang akan datang, seminggu lagi?
Bukan Open Mic yang sepenuhnya berhasil menggodaku menumpuk tugas untuk dikerjakan besok-besok lagi. Tapi obrolan hangat dengan teman lama. Seketika badanku terasa sehat kembali. Sedikit stres memikirkan beban pekerjaan menguap bersama uap kopi keduaku. Tertawa bersama teman dengan rasa kekeluargaan memang membuat kita selalu baik-baik saja. Seru sekali bisa bernostalgia bersama mereka berdua. Ragil dan Shila sebentar lagi akan meresmikan hubungan mereka secara agama dan hukum negara, untung kita bertemu malam ini. Kalau tidak mungkin aku tidak akan hadir di hari spesial mereka. Sama seperti Mira, Ragil dan Shila menganggapku hilang dibuang keluar angkasa.
Hampir pukul sepuluh tiga puluh malam, Stand Up Comedy Boyolali sudah mengakhiri Open Mic mereka, tinggal diskusi dan evaluasi mereka yang tampaknya seru sekali didepan panggung. Pengunjung Kedai sedikit berkurang. Ragil menunjuk sebuah meja dengan sofa, memberi isyarat untuk berpindah kesana. Aku mengangguk setuju, mengangkat notebook. Posisi yang sempurna sekali, tempat yang sama seperti dua hari yang lalu, saat aku bertemu dengan Mira.
“Eh lu berdua tau nggak gw ketemu sama siapa dua hari yang lalu?” kubuka topik obrolan baru setelah lelah membicarakan masa lalu kami.
“Emang siapa?” tanya Ragil penasaran, ia menaruh dua cangkir wedang jahe ekstra caramel dan teh panas diatas meja.
“Vocalist The Dreamer yang manis banget itu.” Jawabku sedikit mendeskrepsikan Mira.
“Hah? Maksud lo Mira?” Ragil terkejut, seakan yang ia dengar aku bertemu Michael Jackson.
“Iya lah, siapa lagi.” Aku menutup notebook dan memasukannya kedalam tas, sedang ingin berbagi dengan teman lama, nggak ingin diganggu kerjaan. “Dan lo berdua tahu, gimana Mira yang dulu lebih kita kenal sebagai sosok pemalu bisa jadi penyanyi band jazz yang sering manggung dan menang festival?”
Ragil dan Shila kompak menggeleng penasaran
“Katanya gara-gara dulu gw pernah nanyain hobi dan bakatnya, tapi dia jawab nggak punya sama sekali. Terus gw kasih tahu Mira kalo pasti dia punya kelebihan yang terpendam. Ternyata gitu, suaranya kereen banget!” Antusiasku kuat sekali bercerita soal Mira kepada mereka berdua. “Gw malah baru inget pernah ngomong gitu ke Mira waktu dia ceritain lagi ke gue kemaren itu, dan bisa-bisanya dia masih inget, setelah sepuluh tahun nggak ketemu, bahkan sekedar chatting atau,”
“Mira yang lo maksud Mira Haziza yang tajir gila itu? Sahabat gw banget itu” Shila memotong kalimatku. Barusan ngerti siapa orang yang gue maksud.
“iya bego’!” balasku kesal sekali. Shila justru tertawa lebar sekali, sampai-sampai Sugi yang sedang mengelap meja bar mendengarnya. “Kenape lu, Shil?” tanyaku memastikan dia tidak gila beneran mendadak. Kan repot kalo ada orang gila di Kedai.
“Tunggu bentar yah,” Shila mengeluarkan handphone yang pernah ngetop sekali pada zamannya, namun saat ini sudah dianggap butut sekali dari tasnya, kemudian ia sibuk seperti mencari sesuatu didalamnya, Ragil memiringkan badan kekanan, ikut memperhatikan layar sentuh handphone itu. Taik.
Tiba-tiba mereka berdua tertawa bersamaan, mending kalo ketawanya biasa aja. Heboh banget! Dua orang ini emang bener-bener bikin malu. Shila menyodorkan Handphonenya kepadaku, menyuruhku melihat apa yang barusan ia buka. ScreenShoot-Screenshoot tampilan lama facebook. Hei! Itu kan screenshot chating antara facebook shila dan surya negara? Yap, facebook ku sendiri, aku cermati apa yang kami obrolkan bertahun-tahun lalu itu. Aku sudah sempurna lupa.

Tapi kenapa isi chating itu ngomongin soal, mira?

Bersambung lagi...

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...