Sejak kecil dulu, ayahku selalu mendoktrinku bahwa besar
nanti, aku harus jadi penulis. Apapun yang kulakukan, coba ditulis dulu. Mulai dari
kenangan pada sebuah perjalanan, tentang film yang aku tonton, keluhan-keluhan,
dan apapun itu. Katanya orang yang menulis itu pasti hebat, ia akan dikenang,
dan lebihnya, bakal punya banyak uang. Abah juga dulu suka beli buku-buku teori
menulis untukku, karena keinginannya yang kuat untuk menjadikan anaknya seorang
penulis. Sayangnya aku tidak pernah percaya sama omongan abah itu, kalo Cuma sekedar
percaya sih mungkin iya, tapi untuk merealisasikan apa yang beliau ucapkan
tentang menulis apapun yang aku alami itu tidak. Buku-buku yang beliau berikan
kepadaku pun jarang sekali aku baca. Bahkan mungkin tidak pernah. Sampai suatu
saat, kenyataan baru menyadarkanku tentang apa yang bertahun-tahun lalu Abah
bilang tentang menulis itu.
Aku baru
menyadarinya setelah hampir setahun masuk pondok, dan baru dapat jatah liburan
50 hari satu kali saat kelas tujuh naik ke kelas delapan. Aku lulus dari
sekolah dasar dengan sejuta kenangan. Mulai dari teman-teman gilaku di sekolah,
grup band qosidah bentukan sekolah yang menyatukan aku dan sahabat-sahabatku,
temen-temen maen game online, sampai temen-temen Dork Squad Boyolali itu,
semuanya membuatku merasa berat untuk masuk pondok dan berpindah ke lingkungan
baru. Sebuah lingkungan pesantren Gontor yang memutus aksesku ke semua hal yang
menurutku asik tadi. Tapi ternyata, setelah aku liburan, bernostalgia dengan
semua hal tadi, saat harus pulang ke pondok lagi dan berpisah dengan semua itu
tadi, rasanya lebih pahit. Walaupun dengan harapan besar bisa dapat jatah
loncat kelas yang sedikit menghiburku, tapi tak dapat ku pungkiri kalo aku bener-bener
kangen duniaku di lingkungan rumah.
Suatu hari, entah apa yang ada dipikiranku, tiba-tiba saja aku keinget farah. Mantan terindah itu >,<. Ya ampun, aku kalo inget dia itu aku merasa bersalah banget, masa iya dia yang nembak sendiri, mutusin sendiri, dan ngajak balikan tapi aku tolak karena aku lebih suka maen game online daripada farah. Tapi ternyata aku menyesal banget saat itu karena udah nolak ajakan balikan dia. Tau-tau merasa semua sms farah, chat di facebook farah, chat di ym farah, mukanya yang lucu, dan suaranya yang manis itu diputar lagi dikepalaku. Entah aku harus seneng atau sedih karena kenangan ini menyiksaku. Aku bisa gila kalo lama-lama begini.
Aku
mencoba menuliskan apa yang aku rasakan saat itu. Ya, menulis kenangan bareng
farah. Ternyata kalo dipikir-pikir kita berdua punya cerita yang lumayan unik. Bayangin,
enam tahun kita berdua satu sekolah, tapi aku baru menyadari keberadaannya saat
farah jadi ceweknya hendra di tahun terakhir. Bahkan katanya, kita dulu pernah
sekelas waktu kelas tiga, tapi aku gak tau. Keren kan. Sebenarnya farah pernah
pedekate ke gue sejak ramadhan 2011, tapi gak terlalu aku urusin, males. Ternyata
doi gak patah semangat buat pedekate lagi, lagi, dan lagi, sampai di bulan
november 2011, kita deket banget. Dan tanpa pernah gue bayangin hal ini
sebelumnya, doi nembak gue lewat chat facebook, di tanggal yang benar-benar
manis sekali. Sebelas november dua ribu sebelas (11/11/11) bener-bener cantik
banget awalnya, tapi kata farah, ending cerita kami nggak banget. Jadian yang
seru buat aku dan dia ini, ternyata jadi bencana besar banget buat temen-temen
gue yang lain. Secara, yang naksir farah, yang caper-caper sama doi itu
bejibun, bahkan orang taunya aku nggak pernah deket apalagi caper-caperin doi,
eh taunya jadian. Atit mereka tuh disini >,<. Dan ternyata bukan Cuma temen-temen
cowok dia aja yang sakit hati, temen-temen cewek gue juga, malah katanya ada
yang sampe nangis-nangis -____- duh mbak berlebihan banget. Dan kesirikan
mereka juga lah kita berduan udahan. Gara-gara fitnah temen gue sendiri. Atitnya
tuh disini. Tapi walaupun begitu, aku masih punya rasa ke fara, dan aku yakin
begitu juga sebaliknya, ternyata bener, kita deket lagi, dan dia ngajakin
balikan, tapi gue tolak. Karena lebih seru mainin game online -___- sori out of topic.
Setelah
itu, aku sukses bergabung dengan kru warta mingguan darussalam pos. Sebuah komunitas
intern di sekolah yang nampung orang-orang pinter, atau minimal suka menulis. Mungkin
lebih cocok kalo kami dipanggil wartawan pondok. Ya karena kerjaan kami nyari
berita. Wawancara sana, wawancara sini. Aku benar-benar menikmati keseharianku
dengan menulis ini. Ada sebuah kenikmatan yang nggak bisa diceritakan saat aku
berhasil menyelesaikan ide atau sesuatu yang ngganjel. Ternyata menulis juga
jadi benteng diriku untuk melakukan hal yang tidak-tidak. Daripada meluapkan
kekesalan dengan ngomel-ngomel atau yang lain, aku lebih suka meluapkannya
dengan kekesalan. Menurutku itu lebih mengobati bahkan memberi rasa tenang.
Mungkin
aku harus bersyukur karena sampai kelas sepuluh ini, selalu dikasih temen-temen
sekamar yang ngeselin. Karena ternyata rasa kesel sama mereka itu menuntutku
untuk meluapkan kekesalan itu dalam bentuk tulisan. Pernah suatu hari aku
bener-bener kesel sama adek kelas, tapi umurnya 16 -___- dan badannya garang
banget. Sebenarnya dia diposisi salah, dan aku benar, kalaupun kita berantem,
aku pasti kalah tapi dia yang disalahkan. Namun aku melupkan kebencianku
kepadanya dengan tulisan dua halaman full dengan tinta merah. Lalu aku tempel
dipintu lemariku yang kebetulan ada di depan lemari dia. Esok harinya, tulisan
itu sudah hilang, nggak tau siapa yang kemakan mentalnya sampai ngerobek tulisan
itu. Dan itu nggak Cuma terjadi sekali. Tiap aku kesel sama orang, pasti ada
kritik pahit yang terbit tertempel di pintu lemariku
Dengan memegang
nama ‘wartawan’ itu, aku dituntut untuk banyak membaca, dan jelas menulis untuk
terus meingkatkan kualitas tulisan berita yang aku tulis. Menulis itu bisa
diibaratkan seperti pisau, akan semakin tajam kalau terus diasah, dan bisa
tumpul juga. Kalo kita konsisten menulis, dan tentunya banyak membaca, tangan
dan otak kita bekerja sama untuk meningkatkan kualitas tulisan yang kita
hasilkan, tanpa kita sadari. Dan kalau kita berhenti menulis, kalao mau manulis
lagi, pasti ada fase macet-macetnya.
Aku terus
mencoba melatih tangan dan otakku dengan menuliskan apa yang terjadi dan apa
yang kurasakan. Aku berkomitmen untuk menulis semua yang aku alami, semua
pengalamanku, tak peduli itu pengalaman indah atau menyedihkan, baik ataupun
buruk. Karena dengan apa yang kita tulis, kita bisa hapal dengan jelas detail
perjalanan kita bernapas. Dengan seperti itu, aku menganggap diriku seorang
yang menghargai sejarah, dan ingin hidupku sendiri jadi lebih baik ke depannya
dengan mengambil pelajaran atas apa yang pernah aku alami.
Selain melakukannya
sebagai hobi, aku kadang berpikir kalau menulis ini adalah kewajiban bagi orang
yang lebih tau untuk menginformasikannya kepada orang yang belum tau, karena
mungkin apa yang kita alami tidak dialami oleh orang lain. Dan jelas, kita
tidak mampu untuk merasakan semua apa yang orang lain rasakan. Disinilah adanya
funsi saling berbagi, saling mengingatkan. Juga sebagai cara bersyukur atas
pengetahuan yang secara Cuma-Cuma Allah berikan kepada siapa yang mau.
Sebenarnya,
yang pengen banget aku dapetin dari menulisku ini adalah manfaatnya untuk orang
banyak. Aku pengen banget tulisanku bisa memotivasi orang lain, mengajak mereka
kepada yang lebih baik. Dan menyadarkan kalau menyerah itu nggak pantes
dilakuin orang yang masih bisa bernapas.
Tapi kadang
jadi penulis itu sangat beresiko. Kita nggak tau apakah orang suka dengan apa
yang kita tulis atau tidak. Bisa saja cara pandang kita terhadap sesuatu dalam
tulisan kita, dianggap menghina oleh orang lain. Aku pernah memprotes dua
pengurus rayonku yang menurutku sangat berlebihan sekali dalam
menghukum
anggotanya yang salah. Tulisan itu aku beri judul ‘dua malik’. Tau malik, kan? Padahal
itu aku tulis di dalam buku harian, yang notabene aku sendiri yang boleh
membacanya, tapi ada aja pengurus rayon yang kepo banget. Pada suatu hari jum’at,
buku harian yang belum aku masukin lemari karena ketiduran itu digondol. Dibaca
oleh semua pengurus rayon. Mereka pasti udah berencana menghabisi aku di
perkumpulan hari jum’at. Tapi mereka terlalu bodoh untuk melakukannya secepat
itu, aku berhasil merebut kembali buku harianku. Ternyata masalah belum
selesai. Karena gagal pada kesempatan pertama, mereka belum juga putus asa. Masa
iya, demi mengambil buku harian itu,mereka membuka lemariku secara paksa. Aku bener-bener
kaget saat bangun tidur dan melihat lemariku dalam keadaan terbuka. Kunci yang
aku taruh di kantong celana juga raib. Ini pasti ulah mudabbir sialan itu. Ternyata
bener aja. Saat perkumpulan terakhir sebelum liburan. Tulisan protesku ke dua
mudabbir kurang ajar itu diungkit. Aku jadi bingung, siapa yang harusnya marah
dalam kasus ini, aku karena mereka menngungkit privasi orang dengan nyolong
diariku, atau mereka yang namanya ada didalam buku harian itu? Ya, mereka
sukses membuat aku meninggalkan kenangan buruk di Indonesia dua lantau dua. Rayon
berkenang tapi sialan juga.
So,
what are you waiting for? Write now and make our life better.



Akhirnya terkuak. Misteri note book Aoohan yang selalu dibawa di tas kecilnya. --
ReplyDeleteNggo opo jal?
Delete