Skip to main content

Makan Steak Dengan Suasana Beda. Review Central Steak & Coffee #KulinerBoyolali

Now We Are Open!
Jadi ceritanya baru pulang dari RS. dr. Oen Solo Baru. Setelah hampir setengah hari berada di Solo, otomatis belum sempat masak apapun buat buka puasa di rumah. Jadilah mumpung pergi, sekalian buka di luar rumah. Pilihan jatuh ke menu steak. Lagi pengen aja.
Sebagai orang Boyolali, kemana lagi perginya kalau mau makan steak kalo bukan ke bintangnya steak di Jl. Pandanaran.
Adzan maghrib berkumandang saat mobil yang kami tumpangi masih di sekitaran Teras, dan sampai di tempat yang dituju beberapa menit setelah adzan selesai.
Begitu sampai dan turun dari mobil, langsung disambut oleh seorang penegak disiplin yang memeberi tahu, di dalam tempatnya sudah penuh. Beuh. Pasti.

Terlalu padatttt
Yah kan, tempat ini memang nggak pernah sepi di bulan Ramadhan. Sejak jari pertama dan semakin tua bulannya semakin rame juga restorannya karena semakin banyak yang mengadakan acara buka bersama di tempat ini. Mungkin tempat ini emang cozy bang





et buat buka bersama. Suatu berkah ramadhan tersendiri bagi sang pemilik restoran.
Tapi postingan kali ini Ulil bukan mau membahas si bintangnya steak. Tapi kita mau bicara sedikit soal tetangganya yang ada di sebelah selatan Galaxy, Sunggingan.
Yap! Tebakan kamu benar, Central Steak & Coffee. Menurut ingatan Ulil sendiri yang semoga tidak salah, Central dulunya adalah sebuah kedai kopi yang buka waktu Ulil masih SD. Seiring berjalannya waktu, kedai kopi itu berevolusi menjadi kedai steak, dan tetap menjadikan kopi sebagai salah satu minuman andalannya.
Central sendiri sudah buka—mungkin— 2 tahun yang lalu kalau tidak salah, Cuma Ulil sendiri baru kali pertama makan di tempat ini. Karena, selama ini pasar Steak Boyolali hampir dikuasai oleh satu restoran, jadi hanya ada satu nama restoran kalo pengen makan Steak. Kali ini datang ke Central pun karena di tempat biasanya sudah penuh. Maaf ya.
Bunga sakura imitasi di dalam
Kesan pertamanya adalah, restoran ini tergolong berani bersaing banget. Karena lokasinya sendiri berada pada satu jalur dengan sebuah restoran yang sudah menguasai pasar steak beberapa tahun terakhir. Mungkin hanya terpaut sekitar 500 meter. Jadi kalau dalam suasana biasa, sedang sama-sama sepi, orang pasti berat ke sebelah. Salut buat owner Central!
Dari pinggir jalan, warung steak ini terlihat ngejreng dan terang. Sebuah suasana yang berbanding terbalik dengan rivalnya, lebih condong ke gelap dan remang-remang. Lampunya putih terang benderang. Di teras, maupun di dalam. Semuanya terlihat padang. Mungkin sengaja, membedakan diri.
Jadi kelebihannya, warung steak ini memberikan suasana yang berbeda dari warung steak di Boyolali yang kebanyakan memakai lampu kuning remang-remang. Tergantung selera.
Berbeda di luar yang penuh dengan lampion-lampion yang menggantung pada kerangka atap besi di atas, di dalam, suasana agak berubah jadi sedikit mengarah ke Jepang dengan hiasan bambu dan bunga sakura imitasinya.
Yang jelas, interior warung ini membuat mata tidak bosen memandang, bukan hanya gelap dan cahaya remang yang ditawarkan.
Yang sedikit bikin kecewa adalah, ehm, tempat shalat. Tidak bermaksud membanding-bandingkan, tapi di warung sebelah, tempat shalat sudah cukup luas dengan view keren yang menghadap ke jurang di belakang warung. Tapi di Central, tempat shalat-nya hanya berupa sebuah emper rumah sempit yang digelari karpet tipis bergambar kartun. Oh My God.
Tapi Alhamdulillah, yang seperti itu masih lebih baik daripada tidak ada. Sebagai orang yang shalat, saya merasa cukup dihargai dengan fasilitas sederhana itu.
Meja tambahan yang dimaksud
Menu yang ditawarkan standar dengan warung steak yang lain. Pilihannya tidak jauh dari Sirloin, Tenderloin, Chicken Crispy, dan beberapa variasi lain dari menu itu. Juga ada menu sosis, dan makanan lain yang masih satu aliran dengan steak.
Minuman yang disediakan juga tidak jauh berbeda. Orange Float, Lemon Squash, dsb.
Soal waktu menunggu, hampir sama seperti yang lain. Tidak cepat namun juga tidak sampai membuat menunggu terlalu lama. Standar lah pokoke.
Yang sedikit membuat Ulil merasa tidak nyaman adalah tempat yang sangat padat. Tidak tahu apakah keadaannya sama seperti ini, atau karena menyambut Ramadhan yang selalu ramai pada jam buka puasa, manajemen Central menambah meja. Jadi di teras Central, mejanya banyak banget, terlalu berdempet dan membuat kita terlalu dekat dengan pengunjung lain. Secara, ada beberapa meja berwarna biru yang berbeda dengan meja-meja lain di warung itu. Di atas meja biru itu terdapat tulisan RT. 03. Mungkin ini menjawab bahwa ada meja tambahan di tempat itu.
Bekas kedai kopi yang masih terlihat
Entah sial atau untungnya, kami dapat tempat di salah satu meja biru itu, karena hanya tinggal meja-meja berwarna biru saja yang kosong. Meja-meja itu jelas tidak di desain untuk warung steak. Terlalu sempit. Apalagi untuk 4 orang dengan 4 piring hot plate.
Yang tidak kalah membuat kenyamanan berkurang adalah jarak dengan jalan raya yang terlalu dekat. Terlebih posisi kami berada di teras, jadi suara bising kendaraan yang melintas terdengar jelas. Membuat kenyamanan menyantap hidangan berkurang.
Mungkin karena enak atau tidak makanan itu juga dipengaruhi dengan tempat dan dengan siapa kita menyantapnya. Seenak apapun makanan, kalu dihabiskan di tempat dan bersama orang yang salah tentu kenikmatan makanan itu tidak sempurna.
Mushola yang em.. anu..
Begitu pun sebaliknya, makanan sederhana yang dimakan bersama orang-orang tertentu akan terasa sangat nikmat. Makan bareng keluarga misalnya. Walaupun hanya dengan sayur tempe, tetap saja terasa nikmat.
Back to topic, Ulil memesan Sirloin yang diberi parutan keju di atasnya. Secaara umum, rasa steaknya tidak jauh beda, atau bahkan sama dengan yang ada di warung steak lain. Standar steak di Boyolali. Belum pernah merasakan yang bener-bener nikmat dan memaksa Ulil mengacungkan 2 jempol.
Saran sebelum memutuskan makan steak dimana, Tanya hati masing-masing terlebih dahulu, kalau mau yang suasananya lebih private, dan tenang, plus remang-remang, mungkin si bintang lebih cocok. Tapi kalau suka yang terang benderang, Central jawabannya.
Pilihan tentu kembali ke diri kita masing-masing. Kita lebih tau siapa yang punya tempat lebih di hati kita sendiri-sendiri.
 (+) Kelebihan
1.      Suasananya beda dari warung steak yang lain.
2.      Interior keren, nggak bikin bosen mata.
3.      Pas banget buat yang pengen makan steak sambil nyruput kopi, walaupun bukan suasana kedai kopi sebenarnya.
(-) Kekurangan
1. Tempat shalat, mungkin bisa dibuat lebih nyaman lagi.
2. Suasananya terlalu bising dengan kendaraan yang melintas.

3. Tempatnya terkesan terlalu sempit dan tidak legaaaa.

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...