Skip to main content

Review Sandee Café : Chocolate, Coffee & Dessert #KulinerBoyolali

Berawal dari kepingin menjajal tempat-tempat makan baru di Boyolali bareng cah-cah Pulisen.
Kata @AgaRiyanto—yang membawa Ulil ke tempat ini, juga sesuai dengan keterangan dari waiter di café itu, Sandee sudah jalan kurang lebih 3 bulan, cukup lama untuk ukuran baru. Tapi jarak yang membuat gue kudet dari perkembangan Boyolali, termasuk tempat-tempat makan yang baru di sini. Jadilah baru malam ini bisa mampir. Memang selalu ada yang baru dan hilang setiap pulang di tengah, dan akhir tahun.

Pertama kali melihat café ini ketika lewat di suatu siang, langsung tertarik dengan penampilan luarnya. Sederhana, antik, tapi terkesan sangat elegan. Dan kesan itu bertambah dalam saat mampir ketika hari sudah gelap. Lampu-lampu di atap café yang didominasi lampu kuning menyala terang namun tidak menyilaukan mata, membuat suasana café-nya terasa banget. Dan sebagaimana selayaknya tempat seperti ini, dalam pandangan pertama melihat suasana seperti itu pun orang bisa menyimpulkan bahwa Sandee akan cozy banget buat ngobrol. Jadi tempat ini sangat direkomendasikan buat kalian yang pengen ngobrol empat mata atau lebih sambil mengisi perut.


Lokasinya ada di Jl. Anggrek—entah nomor berapa. Yang jelas persis berada di sebelah barat kantor kelurahan Pulisen. Sebenarnya jalan anggrek itu sendiri tidak terlalu ramai, apalagi di malam hari. You know lah. Jangan Tanya seperti apa Boyolali di malam hari. Namun keberadaan Sandee di sini justru menjadi daya tarik tersendiri. Bahu Jl. Kantil ke arah selatan yang digunakan sebagai lahan parkir—masih gratis—hampir selalu penuh dengan motor setiap malam.
Dari jauh, eksterior café ini sekilas mirip dengan banyak High-end Café. Yang menarik, ternyata café ini ramah lingkungan. Banyak barang-barang bekas yang dengan pintar dan begitu kreatifnya, disulap menjadi hiasan-hiasan yang membuat Sandee terlihat makin seksi.
Di sebelah timurnya ada susunan bambu untuk tanaman rambat tumbuh meneduhkan. Pada bambu-bambu itu, bergelantungan kaleng Khong Ghuan dan sebangsa biskuit bekas lain  yang sudah disulap menjadi penutup lampu, juga botol-botol plastik bekas yang difungsikan sebagai pot gantung.
Belum cukup sampai disitu, pecahan-pecahan bagian atas botol kaca—berbentuk seperti botol miras—juga terlihat bergelantungan menjadi penutup lampu. Bahkan ada juga tempat sampah—bersih tentunya—yang juga disulap manjadi penutup lampu. Jadi Sandee bisa membuat suasana elegan dengan barang-barang bekas yang tampaknya tidak berguna di sekitar kita. Kreatif banget!
Bicara soal menu, Sandee hadir dengan menu ala western yang sebagiannya sudah dimodifikasi sedikit agar sesuai dengan lidah local orang boyolali. Hampir seperti pendahulunya, Kedai Telasih dan Uno di sebelah barat SDN 07, nama-nama makanan yang tertulis di daftar menu Sandee adalah nama-nama menu yang masing asing di mata pengunjung baru kaya gue. Karena banyak menu yang merupakan hasil modifikasi pemilik restoran sendiri.
Sesuai dengan label yang di tulis di bawah namanya, menu Sandee kebanyakan adalah berbagai macam olahan kakao such as coklat panas, coklat mint, coklat oreo, dsb. Yang bisa dipesan dalam mode panas dan dingin.

Nah, sayangnya, daftar menu Sandee belum cukup keren untuk melengkapi keseksian café ini. Masih berupa daftar makanan yang ditulis dengan font Times New Rowan dalam satu kertas HVS yang dilaminating, tempat menulis pesanan juga hanya berupa sesobek kertas kecil yang di belakangnya ada bekas tulisan lain. -_-. Jadi untuk pembeli baru kaya gue, melihat nama-nama makanan asing itu dan harus memesannya, terkesan seperti kencan buta. Gimana kalo ternyata yang gue pesen nggak sesuai dengan yang ada di bayangan gue. Jadi mungkin akan lebih baik kalo manajemen Sande membuat desain daftar menu yang lebih keren dan unik. Biar kreatifnya nggak tanggung-tanggung.
Satu yang sangat jadi perhatian gue adalah waiter yang so friendly. Pembawaannya sangat ramah dan menghargai pengunjung. Waiter yang mengantarkan makanan ke meja kami nggak ragu sama sekali mengucap terima kasih dan mohon maaf telah menunggu. Ini penting dan harus dijaga. Secara, pembeli juga harus dimanusiakan.
Soal waktu menunggu, em.. gimana ya, lumayan lama sih, tapi karena gue datengnya gerombolan dan menunggu sambil ngobrol, nggak terlalu terasa.

Tapi durasi menunggu itu sebanding dengan saijan mereka. Serius, café ini sangat memperhatikan estetika penyajian mereka. Menata ­sandwich, pisang, sosis dan sausnya, bahkan nasi dan selada, termasuk cara penyajian minuman yang menurut gue, menjadi nilai tambah sendiri. Jadi mungkin mereka butuh waktu juga untuk menata itu semua dengan rapi.
Bagian terpenting, soal anggaran. Untuk menu yang sedikit mengarah ke western, dan coklat, Sandee tergolong murah. Sesuai dengan kantong pelajar. Coklat dipatok mulai dari Rp 6.000, sudah mantap, Chicken Black pepper mulai dari Rp 9.000, sudah bikin kenyang. Pokoknya secara Umum Sandee tergolong café murah.
Sekali lagi nilai plus dari café ini adalah suasananya yang nyaman, pas banget buat ketemuan bareng temen-temen. Dan, punya interior dan eksterior yang keren buat narsis. Bukan berarti datang ke Sandee Cuma buat foto-foto, loh, ya -_-‘. Datanglah ke Sandee bareng temen-temen, nikmati rasa dan cara penyajian mereka.
Secara pribadi gue mendukung banget munculnya café seperti ini di Boyolali. Tantangan selanjutnya adalah Sandee harus bertahan. Walaupun sebagian menu sedikit ke western, bagaimana caranya harus tetap bisa down to earth. Biar friendly sama penduduk lokal.
(+) Kelebihan
1.      Suasana nyaman.
2.      Pelayan super ramah
3.      Murah
4.      Menu pas untuk yang mau mencoba makanan ‘lain’
5.      Interior dan eksterior keren. Kreatif. Pas banget kalo hobi narsis
(-) Kekurangan
            1. Daftar menu kurang menarik

            Sementara ini dulu

Comments

Popular posts from this blog

Gontor Horror Story~

Satu (lagi) kejadian yang sempat membuat pondok sibuk membicarakannya. Beberapa hari yang lalu, dikabarkan bahwa seorang santri yang berasrama di gedung Yaman kesurupan *JGLARR!!. Letak gedung itu memang cukup ekstrim, yakni diujung tenggara kawasan pondok dan paling dekat dengan sungai Malo—sungai tempat sisa-sisa pengikut PKI dipancung berpuluh tahun yang lalu— letak tersebut masuk kategori seram dan mengerikan untuk ukuran asrama. Menurut kabar yang beredar, sebab seorang santri itu kesurupan menurutku cukup menarik perhatian. Ceritanya, si Dono—sebut saja begitu— kehilangan sejumlah nominal uang yang dia simpa di dalam lemari pakaian. Tidak terima dan sakit hati, emosi Dono pun memuncak. Berdirilah ia di teras kamarnya di lantai dua yang langsung menghadap ke arah sungai Malo. “Sini! Genderuwo, Kuntilanak, Tuyul, atau apapun yang ngambil duitku. ANA LA AKHOF!! Nggak Takut!!” Seperti itu kurang lebih ia berteriak meluapkan amarah . Seakan tantangannya sampai ke telinga ...

Nyusu Sambil Ngemil Frech Fries ala The Milk #KulinerBoyolali

Penampang dari meja luar Petualangan Ulil bareng Griya Pulisen Boys menyusuri sudut-sudut mengisi perut di Boyolali pada malam hari belum berakhir. Kali ini spesial banget, karena malam ini, adalah malam takbiran. Malam ini kami keluar Cuma bertiga, Ulil, Estu (@paangestu), Aga (@Riyanto_aga). Dido yang biasanya habis-habisan di- bully sedang mudik ke habitat asalnya, sementara Arsyad, nyusul terakhiran. Padahal kami bertiga baru keluar dari gapura Griya Pulisen I hampir pukul 21.30 malam, tapi jalanan Boyolali masih ramai banget. Apalagi Jl. Solo-Semarang yang melintasi pasar kota boyolali. Polisi lalu lintas berjaga hampir di setiap persimpangan, memejeng motor dengan lampu panjang berkelap-kelip merah di atas joknya. tembok Kecuali mobil-mobil pemudik yang bernomor polisi B,F,D, dsb., jalanan dipenuhi oleh mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut belasan orang, entah kemana tujuan mereka. Yang jelas, hampir setiap mobil sudah dilengkapi dengan speaker jumbo yang meng...

Damainya Gontor Tanpa Marosim~

Di Gontor ada dua jalan pemikiran yang saling bertentangan namun juga selalu berjalan beriringan menemani kehidupan santri. Yang pertaman adalah mereka yang setuju bahwa marosim itu bermanfaat untuk melancarkan kegiatan pondok, dan kedua adalah mereka yang justru menganggap marosim adalah bukti bahwa santri Gontor itu lelet dan tidak punya jiwa ketanggapan Jika diterjemahkan denganbahasa arab yang benar, marosim itu berarti upacara. Namun dalam istilah gontori, marosim adalah suatu cara yang dilakukan oleh pengurus untuk mempercepat gerak anggotanya. Misalkan marosim pergi ke masjid, marosim keluar kamar sebelum membaca do’a, marosim berwudlu sebelum shalat, marosim masuk kelas, dan masih banyak lagi. Pokoknya selama ini hidup santri Gontor selalu lengket dengan kata marosim.penggunaan kata marosim tersebut merujuk pada anggota-anggota yang diberdirikan dengan suatu posisi barisan tertentu menyerupai upacara jika terlambat. Sebenarnya penggunaa kata marosim itu kurang tep...